1.
Definisi
Ikhtilath
menurut bahasa adalah bercampurnya sesuatu dengan sesuatu[1].
Sedangkan secara istilah Ikhtilath artinya adalah bertemunya laki-laki dan
perempuan (yang bukan mahramnya) di suatu tempat secara campur baur dan terjadi
interaksi di antara laki-laki dan wanita itu (misal bicara, bersentuhan,
berdesak-desakan, dll)[2]
2.
Hukum
ikhtilat
Ikhtilat
adalah perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan termasuk perkara yang sangat
berbahaya yang Allah subhanahu wata’ala telah memperingatkan kaum muslimin dari
padanya, karena ikhtilat antara dua jenis –laki-laki dan wanita-merupakan sebab
yang terbesar dan yang paling mudah untuk mengantarkan pada perbuatan fahisya
(yakni zina). Padahal Allah berfirman :
“Dan janganlah kalian mendekati zina,
sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji, dan merupakan jalan yang buruk.”
(Al-Israa’ : 32).
Dan yang paling berbahaya dari
ikhtilat adalah khalwat yakni bersendirian/bersepi-sepinya laki-laki dan wanita
yang bukan mahram di satu tempat, karena khalwt merupakan jalan masuknya
syaithan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wsallam bersabda :
“Tidaklah seorang laki-laki bersendirian dengan seorang seorang wanita (yang bukan mahramnya) melainkan syaithan yang ketiganya.” (HR.Ahmad, Tirmidzi dan Hakim, dan Hakim menshahihkannya)
“Tidaklah seorang laki-laki bersendirian dengan seorang seorang wanita (yang bukan mahramnya) melainkan syaithan yang ketiganya.” (HR.Ahmad, Tirmidzi dan Hakim, dan Hakim menshahihkannya)
3.
Kriteria keharaman ikhtilat
suatu
pertemuan antara laki-laki dan peremuan baru disebut ikhtilat jika memenuhi dua
kriteria secara bersamaan, yaitu :
a. adanya
pertemuan (ijtima’) antara laki-laki dan
perempuan di satu tempat yang sama, misalnya di gerbong kereta yang yang sama,
di ruang yang sama, di bus yang sama, rumah yang sama, dan seterusnya.
b. terjadi
interaksi (ittishal, khilthah) antara
laki-laki dan perempuan, misalnya berbicara, saling menyentuh, bersenggolan,
berdesakan, dan sebagainya.
4.
Dalil-dalil
yang mengharamkan ikhtilat
-
Dan wanita
(Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan
dirinya (kepadanya) dan Dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke
sini.” Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah
memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan
beruntung. ( QS: yusuf :23 )
Dan
sisi pendalilannya: Bahwa tatkala terjadi ikhtilath antara isteri penguasa
mesir dan nabi yusuf alaihissalam muncul darinya apa yang tersembunyi maka dia
meminta darinya untuk menyetujuinya, akan tetapi Allah menyelamatkannya dengan
rahmatNya maka Dia menjaganya darinya, dan itu pada firmanNya:
Maka
Tuhannya memperkenankan doa Yusuf dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya
mereka. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS;
yusuf : 34 )
Demikianlah bila terjadi ikhtilath
dengan wanita masing masing dari dua jenis memilih orang yang dia
menginginkannya dari jenis lain dan mengerahkan setelah itu sarana sarana untuk
mewujudkannya.
- Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan
memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada
wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya,
dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah
Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka,
atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam,
atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Sesungguhnya
Allah memerintah orang orang beriman lelaki dan wanita untuk menundukkan pandangan
dan perintahnya menuntut kewajiban kemudian Dia menerangkan bahwa ini lebih
bersih dan lebih suci dan syariat tidak memaafkan kecuali pandangan tanpa
sengaja, Al Hakim meriwayatkan dalam al mustadrak dari ali bahwa nabi bersabda:
wahai ali janganlah engkau ikuti pandangan dengan pandangan, sesungguhnya
bagimu yang pertama dan tidak bagimu yang lain. Berkata Al Hakim setelah
mengeluarkannya: shahih atas syarat muslim dan keduanya tidak mengeluarkannya.
Dan disepakati oleh Adz Dzahabi dalam talkhishnya dan dengan maknanya beberapa
hadits.
Tidaklah
Allah memerintah dengan menundukkan pandangan melainkan karena pandangan kepada
apa yang haram memandangnya adalah zina. Abu Hurairah meriwayatkan dari nabi
bahwa beliau bersabda: kedua mata zinanya adalah melihat, kedua telinga zinanya
adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah
memegang, kaki zinanya adalah melangkah. Muttafaqun alaih dan lafazhnya milik
muslim.
Hanyalah
itu dikatakan zina karena dia bersenang senang dengan memandang kebagusan
wanita dan membawa kepada masunya wanita tersebut kedalam hati orang yang
memandangnya sehingga menancap didalam hati, kemudian dia berusaha untuk
melakukan kekejian dengannya. Maka bila syariat melarang dari memandang kepada
wanita karena membawa kepadanya mafsadah dan itu terjadi dalam ikhtilath, maka
demikian pula ikhtilath itu dilarang karena sarana kepada apa yang tidak
terpuji akibatnya dari bersenang senang dengan memandang dan berusaha kepada
apa yang lebih buruk dari itu.
5.
Ikhtilat
laki-laki dan wanita memiliki tiga keadaan :
a.
Ikhtilath
wanita dengan mahramnya dari lelaki, dan ini tidak ada kesamaran tentang
bolehnya.
b.
Ikhtilath
wanita dengan lelaki asing untuk tujuan kerusakan, dan ini tidak ada kesamaran
tentang haramnya.
c.
Ikhtilath
wanita dengan lelaki asing di tempat tempat ilmu, toko toko, perpustakaan
perpustakaan, rumah sakit rumah sakit, perayaan perayaan, dan semisal
itu, maka ini pada hakikatnya terkadang orang yang bertanya menyangka pada awal
perkara bahwa itu tidak membawa kepada fitnah masing masing dari dua jenis
dengan lainnya.
Dan
untuk menyingkap hakikat jenis ini maka kami menjawabnya dari jalan mujmal dan
mufashol:
a. Adapun jawaban mujmal maka sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan lelaki diatas kekuatan dan
kecenderungan kepada wanita dan menjadikan wanita diatas kecenderungan kepada
lelaki dengan adanya kelemahan dan kelembutan. Maka bila terjadi ikhtilath
timbul darinya pengaruh yang membawa kepada terwujudnya tujuan yang buruk
karena nafsu itu selalu memerintah dengan yang buruk dan hawa nafsu itu membuat
buta dan tuli dan setan memerintah dengan kekejian dan kemunkaran.
b. Adapun jawaban mufashol maka syariat ini dibangun atas maksud dan sarana. Dan sarana dari
suatu maksud yang menghubungkan kepadanya memiliki hukum yang sama dengannya.
Maka wanita adalah tempat pemenuhan keinginan lelaki. Dan syariat menutup pintu
pintu yang membawa kepada bergantungnya setiap orang dari dua jenis tersebut
dengan yang lain. Dan itu nampak jelas dengan apa yang akan kami bawakan untuk
anda dari dalil dalil Al Kitab dan As Sunnah.
6.
Ikhtilat yang diharamkan
Ikhtilath
yang diharamkan adalah ikhtilath yang melanggar ketentuan-ketentuan Syari’ah,
misalnya adalah:
a. Berduaannya
(khalwat) laki-laki dan perempuan non mahram, apalagi jika disertai pandangan
yang mengandung syahwat.
b.
Si perempuan
tidak bisa menjaga kesopanan sesuai tuntunan Syari’ah.
c.
Main-main,
bersenda gurau, dan saling bersentuhan badan.
Jika
aktivitas ikhtilath mengandung aktivitas-aktivitas di atas atau yang semisalnya,
maka ikhtilath tersebut hukumnya haram. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut
ini:
a. (QS. An-Nuur [24]: 30)
b.
(QS. An-Nuur
[24]: 31)
c.
(QS. Al-Ahzab
[33]: 53)
d.
لاَ
يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
Artinya:
“Seorang laki-laki tidak boleh berduaan dengan seorang perempuan, karena yang
ketiga (jika mereka berduaan) adalah syaithan.” (HR. At-Tirmidzi)
يَا أَسْمَاءُ إِنَّ
الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ
هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ
Artinya: “Wahai Asma’ (binti Abu Bakar),
sesungguhnya perempuan jika telah baligh, tidak boleh kelihatan darinya kecuali
ini dan ini. (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi isyarat pada
wajah dan kedua tapak tangan beliau).” (HR. Abu Dawud
Fuqaha pun telah sepakat akan keharaman
seorang laki-laki menyentuh perempuan asing (non mahram), kecuali laki-laki
tersebut sudah tua dan tidak memiliki syahwat lagi terhadap perempuan. Yang
juga dikecualikan dari keharaman ini adalah seorang dokter yang pada kondisi
tertentu harus melihat dan menyentuh pasiennya, untuk menyelamatkan nyawa
pasien tersebut atau untuk menghindarkannya dari penyakit yang bertambah parah.
7.
laki-laki dan
perempuan dibolehkan melakukan ikhtilat, dengan 2 (dua) syarat, yaitu ;
a.
pertemuan
yang terjadi antara laki-laki dan perempuan itu untuk melakukan perbuatan yang
dibolehkan syariah, seperti aktivitas jual beli, belajar mengajar, merawat
orang sakit, pengajian di masjid, melakukan ibadah haji, dan sebagainya.
b.
aktivitas
yang dilakukan itu mengharuskan pertemuan antara laki-laki dan perempuan. Jika
tidak mengharuskan pertemuan antara laki-laki dan perempuan, hukumnya tetap
tidak boleh. Sebagai contoh ikhtilat yang dibolehkan, adalah jual beli.
Misalkan penjualnya adalah seorang perempuan, dan pembelinya adalah seorang
laki-laki. Dalam kondisi seperti ini, boleh ada ikhtilat antara perempuan dan
laki-laki itu, agar terjadi akad jual beli antara penjual dan pembeli. Ini
berbeda dengan aktivitas yang tidak mengharuskan pertemuan laki-laki dan
perempuan. Misalnya makan di restoran. Makan di restoran dapat dilakukan
sendirian oleh seorang laki-laki, atau sendirian oleh seorang perempuan. Tak
ada keharusan untuk terjadinya pertemuan antara laki-laki dan perempuan supaya
bisa makan di restoran. Maka hukumnya tetap haram seorang laki-laki dan
perempuan janjian untuk bertemu dan makan bersama di suatu restoran.[3]
c.
Perlu
diperhatikan juga, di samping dua syarat di atas, tentunya para laki-laki dan
perempuan wajib mematuhi hukum-hukum syariah lainnya dalam kehidupan umum,
misalnya kewajiban menundukkan pandangan (ghaddhul bashar), yaitu tidak
memandang aurat (QS An Nuur : 30-31), kewajiban berbusana muslimah, yaitu
kerudung (QS An Nuur : 31) dan jilbab atau baju kurung terusan (QS Al Ahzaab :
59), keharaman berkhalwat (berdua-duaan dengan lain jenis) (HR Ahmad), dan
sebagainya.
8.
Bahaya-bahaya
ikhtilat
a.
terjadinya
khalwat, yaitu laki-laki yang berdua-duaan dengan perempuan yang bukan
mahramnya. Sabda Rasulullah SAW,”Janganlah sekali-kali seorang laki-laki
berdua-duaan dengan seorang perempuan, karena yang ketiganya adalah syaitan.”
(HR Ahmad);
b.
terjadinya
pelecehan seksual, seperti persentuhan antara laki-laki dan perempuan bukan
mahram, dan sebagainya. Rasulullah SAW pernah bersabda,”Kedua mata zinanya
adalah memandang [yang haram]; kedua telinga zinanya adalah mendengar [yang
haram], lidah zinanya adalah berbicara [yang haram], tangan zinanya adalah
menyentuh [yang haram], dan kaki zinanya adalah melangkah [kepada yang haram].”
(HR Muslim). Rasulullah SAW juga melarang laki-laki dan perempuan
berdesak-desakan. Maka dari itu pada masa Rasulullah SAW para perempuan keluar masjid lebih dulu setelah selesai shalat, baru kemudian
para laki-laki. (HR Bukhari, no 866 & 870).
c.
terjadinya
perzinaan, yang diawali dengan ikhtilat. Imam Ibnul Qayyim pernah berkata dalam
kitabnya At Thuruqul Hukmiyyah,”Ikhtilat
antara para laki-laki dan perempuan, adalah sebab terjadinya banyak perbuatan
keji (katsratul fawahisy) dan
merajalelanya zina (intisyar az zina).”
9.
Fenomena Aktual di Sekolah, Universitas, Rumah Sakit dan
Instansi-Instan
Ikhtilath
di Sekolah, Universitas, Rumah Sakit dan Instansi-Instansi sudah merupakan
perkara yang biasa dan sudah membudaya, dan hasil dari semua itu dianggap luar
biasa. Karena luar biasanya, maka banyak dari umat Islam terpengaruh dan bahkan
sampai tergiur yang pada akhirnya timbullah angan-angan untuk meraih yang
mereka angan-angankan, merekapun mulai mencoba yang pada akhirnya terasa
semakin asyik sehingga melahirkan keberanian dalam menerjang larangan-larangan
Rabbnya, Na’uzu billah min zalik.Sungguh telah cukup bagi kami untuk
mencantumkan beberapa point dari fatwa para ulama kita, tentang betapa bahaya
dan ngerinya tentang perkara ikhtilath ini:
1.
Samahatus
Syaikh Abdul Aziz bin Baz _rahimahullah- berkata: “Barangsiapa yang mengatakan
boleh ikhtilath disekolah-sekolah dan yang lainnya dengan alasan bahwa perintah
berhijab hanya khusus untuk isteri-isteri Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
maka perbuatan ini jauh dari petunjuk serta menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah
yang telah menunjukkan hukum hijab berlaku umum, sebagaimana firman-Nya: “Cara
yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Fatawa An-Nazhar
wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 10).
2.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
rahimahullah- berkata: “Sesungguhnya tidak boleh bagi setiap orang laki-laki
dan perempuan untuk belajar di sekolah-sekolah yang terjadi iktilath
didalamnya, disebabkan karena bahaya yang besar yang akan mengancam kesucian
dan akhlak mereka. Tidak ada keraguan bahwa orang yang bagaimana pun sucinya
dan mempunyai akhlak yang tinggi, bagaimana jika disamping tempat duduknya ada
perempuan, terlebih lagi bila perempuan itu cantik lalu menampakkan
kecantikannya maka sangatlah sedikit yang bisa selamat dari fitnah dan
kerusakan. Oleh karena itu segala yang membawa kepada kerusakan dan fitnah
adalah haram.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 23).
3.
Samahatus
Syaikh Abdul Aziz bin Baz _rahimahullah- berkata: “Adapun ikhtilath antara
laki-laki dan perempuan di tempat kerja atau instansi-instansi sedang mereka
adalah kaum muslimin, maka hukumnya haram dan wajib bagi yang memiliki wewenang
di tempat tersebut untuk memisahkan tempat (ruangan) antara laki-laki dan
perempuan. Sebab ikhtilath terdapat kerusakan yang tidak samar lagi bagi
seorang pun.” (Fatawa
Hai’ah Kibaru Ulama: 2/613 dan Fatawa Ulama Baladi Haram, hal. 532).
Hai’ah Kibaru Ulama: 2/613 dan Fatawa Ulama Baladi Haram, hal. 532).
4.
Asy-Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah- berkata: “Perempuan yang keluar
dari rumahnya merupakan perkara yang menyelisihi hukum asal. Dan masuknya
mereka di rumah sakit yang di dalamnya ada campur baur antara laki-laki dan
perempuan merupakan ikhtilath yang tidak diperbolehkan didalam Islam.Seandainya
ada rumah sakit khusus untuk wanita, para pekerjanya juga wanita, begitu pula
pasien dan para perawatnya. Seharusnya memang negeri-negeri Islam ada rumah
sakit yang seperti itu, yang mana para wanita secara khusus yang mengurusinya,
baik dokter, direktur, para pekerjanya dan yang semisalnya. Adapun apabila
rumah sakitnya ada ikhtilath, maka kami nasehatkan agar wanita muslimah yang beriman
kepada Rabbnya agar bertaqwa kepada Allah dan hendaknya ia tetap tinggal
dirumahnya.” (Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 75).
5.
Samahatus
Syaikh Abdul Aziz bin Baz _rahimahullah- berkata: “Bekerjanya perempuan
ditempat yang terdapat laki-laki di dalamnya adalah perkara yang sangat
berbahaya. Dan diantara penyebab terbesar adalah munculnya kerusakan yang
disebabkan karena ikhtilath yang mana hal itu merupakan jalan-jalan yang paling
banyak
menyebabkan terjadinya perzinahan.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 44).
menyebabkan terjadinya perzinahan.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 44).
10. subhat yang
memperbolehkan ikhtilat
Ada sebagian orang yang
membolehkan ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan
mahram) berdalih dengan hadits shahih . Di antaranya:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ
كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى
الله عليه وسلم – جَمِيعًا
Abdullah
bin Yusuf bercerita kepada kami, “Malik menceritakan kepada kami, dari Nafi’
dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa dia berkata: “Sesungguhnya dulu pada zaman
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, laki-laki dan perempuan berwudhu’
secara bersama-sama.” (HR. Al-Bukhari)
Bagaimana
kalian -wahai orang-orang yang mengaku ahlus sunnah- melarang manusia untuk
ikhtilath? Sedangkan Al-Imam Al-Bukhari sendiri meriwayatkan hadits yang
membolehkan hal tersebut?!
Untuk
menanggapi ‘syubhat’ ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1.
Perlunya
mempelajari dasar-dasar ajaran islam yang benar secara global,
sehingga ketika syubhat menyerang, seorang muslim tidak terlalu panik
menghadapinya. Kembalikan saja kepada kaidah umum yang telah dipelajari dan
diketahui walau tidak memahami penjelasannya secara terperinci. Dalam hal ini,
penulis sangat menyarankan para pembaca untuk mengulang kembali faidah yang
tertuang dalam kitab “Kasyfu Asy-Syubuhat” karya Syaikh Muhammad bin
‘Abdul Wahhab Al-Hanbali rahimahullaah
2. Pentingnya mengkaitkan
antara hadits dengan judul bab di mana hadits itu diletakkan oleh penyusunnya.
Tidak mengambil teks hadits itu kemudian dialihbahasakan begitu saja, terlebih
lagi digunakan sebagai dalih untuk menghalalkan sesuatu yang telah disepakati
keharamannya. Seperti hadits tersebut di atas jika dikaitkan dengan judul bab
tempat hadits itu diletakkan oleh penyusunnya, maka sirnalah kerancuan atau
syubhat yang dimaksud. Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits ini di dalam
kitab tentang Wudhu’ bab “Bolehnya seorang laki-laki berwudhu’ bersama istrinya”
(4/43, 193). Ulama kita menjelaskan bahwa fiqh atau madzhab Al-Imam Al-Bukhari
dapat dilihat dari judul bab (yang ia buat). Dengan demikian terlihatlah dengan
jelas bahwa
Al-Imam Al-Bukhari sama sekali tidak mendukung bolehnya ikhtilath.
Lalu apa hubungannya antara hadits dengan judul bab? Mengapa Al-Imam Al-Bukhari
bisa mengambil kesimpulan dengan membuat judul yang lebih khusus cakupannya
berdalil dengan hadits yang bersifat umum?
Dalam
bab yang sama terdapat banyak hadits yang senada dengan berbagai macam jalur
periwayatannya. Al-Imam Al-Bukhari dikenal sebagai orang yang sangat selektif
dan super ketat dalam menentukan sebuah hadits itu shahih. Di sisi yang lain
beliau dituntut untuk menyusun sebuah kitab yang ringkas tetapi menyeluruh yang
berisi hadits-hadits yang shahih saja. Karena dua faktor inilah maka mungkin -wallaahu
a’lam- beliau hanya menurunkan satu hadits saja dalam bab tersebut,
yaitu hadits
mauquf (hadits Ibnu ‘Umar) yang berstatus marfu‘.
Bahkan hadits ini merupakan hadits yang paling shahih dalam bab ini. Di samping
jalur periwayatannya dikenal sebagai ‘silsilah adz dzahab’ (jalur emas) -yaitu
dari Malik dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar-, juga yang meriwayatkannya adalah
Al-Bukhari (atau bisa disebut juga sebagai “jalur emas” yang paling shahih).
Di
antara sekian banyak riwayat, ada sebuah riwayat yang menegaskan bahwa Ibnu
‘Umar radhiyallahu
‘anhuma melihat mereka (para sahabat) bersama istri-istri mereka
berwudhu’ bersama-sama dalam satu bejana yang sama. Riwayat ini shahih
diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya. Lalu mari sejenak kita
berfikir, mungkinkah seluruh para sahabat bersama istri mereka berwudhu’ secara
bersama-sama dalam satu bejana (إناء) yang dikenal kala itu berukuran
relatif kecil? Ataukah maksud Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhumaadalah masing-masing sahabat
bersama istrinya berwudhu’ bersama-sama, kemudian sahabat yang lain berwudhu’
bersama istrinya, lalu sahabat yang lain lagi dan seterusnya? Tentu yang
terakhir disebutkan lebih logis dan lebih mendekati kebenaran. Inilah yang
dipilih oleh Al-Imam Al-Bukhari yang sekaligus menunjukkan kejelian dan
kecerdasan Al-Imam Al-Bukhari dalam beristidlal dan menempatkan hadits-hadits
shahih yang sesuai dengan syarat-syaratnya pada judul bab (tarjamah) yang
merupakan cerminan fiqh dan madzhab beliau dalam suatu masalah tertentu.
11. Kitab-kitab yang membahas hukum ikhtilat
1.
kitab
Khuthurah Al Ikhtilath (Bahaya Ikhtlath), karya Syaikh Nada Abu Ahmad;
2.
kitab
Al Ikhtilath Ashlus Syarr fi Dimaar Al Umam wal Usar (Ikhtilat Sumber Keburukan
bagi Kehancuran Berbagai Umat dan Keluarga), karya Syaikh Abu Nashr Al Imam,
3.
kitab
Al Ikhtilath wa Khatruhu ‘Alal Fardi wal Mujtama’ (Ikhtilat : Bahayanya Bagi
Individu dan Masyarakat), karya Syaikh Nashr Ahmad As Suhaji, dan sebagainya.
[1]Lihat Lisanul ‘Arab 9/161-162
[2] Said Al Qahthani, Al Ikhtilat, hlm. 7
[3] Taqiyuddin An Nabhani, An Nizhamul Ijtima`i fil Islam,
hlm. 37).
Bagaimana dengan 2 diatas motor antar laki2 dan perempuan apakah itu ikhtilath,dan hal itu di jadi kan sebuah pekerjaan,?
BalasHapus