Segala Sesuatu Yang Keluar Dari Dua Jalan
(Qubul Dan Dubur) Adalah Najis
(Oleh : Fitra Hudaiya)
قال المصنّف:[1]
( فصل وكل مائع خرج من
السبيلسن نجس إلا المني وغسل جميع الأبوال والأرواث واجب إلا بول الصبي الذي لم
يأكل الطعام فإنه يطهر برش الماء عليه ولا يعفى عن شيء من النجاسات إلا اليسير من
الدم والقيح وما لا نفس له سائلة إذا وقع في الإناء ومات فيه فإنه لا ينجسه والحيوان
كله طاهر إلا الكلب والخنزير وما تولد منهما أو من أحدهما والميتة كلها نجسة إلا
السمك والجراد وابن آدم ويغسل الإناء من ولوغ الكلب والخنزير سبع مرات إحداهن
بالتراب ويغسل من سائر النجاسات مرة واحدة تأتي عليه والثلاث أفضل وإذا تخللت
الخمرة بنفسها طهرت وإن خللت بطرح شيء فيها لم تطهر)[2]
( وكلّ مائع خرج من
السبيلين نجس الاّ المني)
(Segala sesuatu yangkeluar dari dua jalan
(qubul dan dubur) hukumnya adalah najis kecuali air mani.)
Dalam hal ini maka terlebih
dahulu kita harus mengetahui apa arti najis itu sendiri, karena segala sesuatu
yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur)
merupakan salah satu macam dari najis.
Najis menurut bahasa
berarti Kotoran atau segala sesuatu yang kotor, ada pun menurut istilah adalah suatu perumpaan terhadap sesuatu yang haram
untuk memakainya atau memakannya secara muthlak yang masih memungkinkan untuk dipakai
bukan karena kemuliaan, kekotoran, atau mudharatnya bagi tubuh atau akal.
Dan sesungguhnya
diharuskan untuk membasuh kencing, tinja,madzi dan muntah, madzi dikatakan
najis karena ia keluar dari salah satu dua jalan (qubul dan dubur), berdasarkan
hadits dari Ali Radhiyallaahu ‘anhu beliau
berkata :
كنت رجلا مذّاء فاستحييت أن أسأل رسول الله
صلّى الله عليه وسلّم لمكان ابنته فأمرت المقداد بن الأسود الكندي فسأله, فقال
رسول الله صلّى الله عليه وسلّم : "يغسل ذكره و يتوضّأ
Aku sering mengeluarkan madzi akan tetapi aku malu untuk menanyakan hal tersebut
kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena kedudukan putri beliau (sebagai
istri Aly),lalu saya meminta Miqdad bin Aswad untuk menanyakannya dan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun bersabda “ Hendaklah ia membasuh kemaluannya
kemudian berwudhu”.[3]
Ada pun mani apakah ia najis atau tidak, jika ia mani manusia maka di
dalamnya terdapat beberapa khilaf di antara para Imam Madzhab, Syafi’iyyah
mengatakan bahwa ia tidak najis, Malikiyyah dan Hanafiyyah mengatakan bahwa
mani adalah najis berdasarkan hadits di bawah ini:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يغسل المني ثم يخرج إلى الصلاة في ذلك الثوب
Pernah Rasululullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam membasuh mani yang dari pakaian beliau kemudian beliau keluar untuk
shalat dengan mamakai pakaian tersebut.[4]
Syafi’iyyah,
Ahlul hadits dan lain-lain berdalilkan
dengan hadits :
قول عائشة رضي الله عنها لقد رأيتني أفرك من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم
المني فركا فيصلي فيه
“Aisyah berkata bahwa saya telah mengeruk mani dari
pakaian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kemudian beliau shalat dengan pakaian tersebut”.[5]
Ada
pun selain mani manusia : jikalau mani anjing atau babi maka ia najis secara
ijma’, ada pun jikalau mani hewan selain keduanya maka di dalamnya terdapat
khilaf, ada yang mengatakan najis dan ada yang mengatakan tidak najis (suci).
(وغسل جميع الأبوال
والأرواث واجب إلاّ بول الصبيّ الذي لم يأكل الطعام فإنّه يطهر برشّ الماء عليه)
(Membasuh kencing dan tinja hukumnya adalah wajib kecuali kencing
bayi yang belum mengkonsumsi makanan
(selain ASI), ada pun cara menyucikannya yaitu cukup dengan memercikkan air padanya.)
Dalil
yang mewajibkannya adalah hadits tentang orang badui yang kencing di dalam
masjid kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh
sahabat untuk mengambil setimba air lalu menyiram tempat yang terkena kencing . ada pun cara
mensucikan najis maka tergantung kepada bentuk najisnya, ada jenis najis yang
kelihatan ‘Ainnya dan ada pula yang tidak, membersihkan najis yang kelihatan
‘ainnya itu dengan cara menghilangkan ‘ain najis sehingga tidak tersisa lagi
sesuatu dari najis tersebut baik itu rasa, warna dan baunya. dan najis yang
tidak kelihatan ‘ainnya (hukmiyyah) maka disyaratkan untuk membasuhnya.
Kesimpulannya
adalah wajib dalam menghilangkan najis itu dengan cara membasuhnya sebagaimana
biasanya yaitu dengan menyalurkan air suci ke atasnya kecuali kencing bayi yang
belum mengkonsumsi makanan apa pun selain air susu ibunya maka cukup dengan
memercikkan air yang mana harus mengenai seluruh tempatyang terkena kencingdan tidak diwajibkan untuk
membasuhnya.
Mushannif
mengatakan dengan kata “shabiyyun” atau bayi lelaki karena tidak termasuk di dalamnya bayi
perempuan yang mana air seninya tidak cukup hanya sekedar memercikkan air
sebagaimana hal nya bayi laki-laki akn tetapi harus di cuci atau dibasuh.
Berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha
عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه
وسلم أتى بصبي يرضع فبال في حجره فدعا بماء
فصبه عليه ولم يغسله
“Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menimang bayi laki-laki kemudian bayi itu kencing di
pangkuan beliau maka beliau pun menyuruh untuk mengambil air lalu memercikkanya
dan tidak membasuhnya”.[6]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau Shallallahu ‘Alaihi wa sallam hanya
menyiramnyadan tidak membashunya
Disebutkan juga bahwa beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
memercikkan air atas kencing bayi laki-laki dan membasuh kencing bayi
perempuan.
( ولا يعفى عن شيء من
النجاسات إلا اليسير من الدم والقيح وما لا نفس له سائلة إذا وقع في الإناء ومات
فيه فإنه لا ينجسه )
(Dan tidaklah dima’afkan sesuatu dari
najis-najis kecuali sedikit dari darah dan nanah. Adapun hewan-hewan yang tidak
mempunyai darah yang mengalir (lalat, semut dll) bila jatuh ke dalam wadah
kemudian mati di dalam wadah itu maka air itu tidak bernajis)
Darah dan nanah yang sedikit boleh mengenai
pakaian dan badan serta sah nya shalat dalam keadaan yang demikian. Ada pun
hewan yang darah nya tidak mengalir seperti : lalat, nyamuk, kalajengking,
cicak kemudian jatuh kedalam bejana yang berisi air, minyak, mentega dan
lain-lain maka ulama berbeda pendapat dalam hal ini, Syafi’iyyah mengatakan
tidak najis berdasarkansabdaRasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
إذا وقع الذباب في شراب أحدكم فاليغمسه كلّه ثمّ لينزعه فإنّ في أحد
جناحيه داء و في الآخر شفاء
“Jikalau ada lalat yang jatuh ke dalam minuman seseorang dari kalian maka
celupkanlah lalat itu kemudian cabut, karena di salah satu sayapnya terdapat
penyakit dan di sayap yang lainya penawarnya”.[7]
Perlu diketahui bahwa najis yang tidak dapat dilihat dengan mata seperti
percikan air seni dan najis yang lengket di kaki lalat maka hukumnya sama
seperti hewan yang darahnya tidak mengalir yakni tidak najis, ini menurut
nawawi.
( والحيوان كله طاهر إلا الكلب والخنزير وما تولد منهما
أو من أحدهما )
(Semua hewan itu suci adalah suci kecuali anjing dan babi, serta yang terlahir dari kedua-duanya atau salah satu dari keduanya)
(Semua hewan itu suci adalah suci kecuali anjing dan babi, serta yang terlahir dari kedua-duanya atau salah satu dari keduanya)
Pada dasarnya semua hewan itu adalah suci karena ia dimanfaatkan oleh
manusia, dan manfaat itu tidak akan
sempurna kecuali ia suci. Syafi’iyyah mengecualikan anjing dan babi,
berdasarkan hadits:
طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أن يغسل سبع
مرات أولاهن بالتراب
“Sucinya bejana yang telah diminum oleh anjing yaitu dengan menyucinya
sebanyak tujuh kali dan yang pertamanya dengan dicampur tanah atau debu”.[8]
Babi lebih najis dari pada
anjing karena ia tidak bisa diambil manfaat darinya, dagingnya najis dan segala
sesuatu yang terlahir atau berasal darinya,
sebagaiman Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
أو لحم خنزير فإنه رجس
“Atau daging babi maka ia
adalah kotor (najis)”.[9]
( والميتة كلها نجسة إلا
السمك والجراد وابن آدم )
(Semua bangkai itu hukumnya najis kecuali bangkai
ikan,belalang dan manusia)
Semua bangkai itu hukumnya najis
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala
حرمت عليكم الميتة
“Diharamkan atas mu bangkai”.[10]
Pengharaman atas sesuatu yang
tidak bermanfaat dan juga tidak mudharat dalam memakannya menunjukkan karena
kenajisannya, bangkai adalah segala sesuatu yang mati dengan sembelihan yang
tidak syar’i.
Semua bangkai najis kecuali
bangkai ikan dan belalang, ini berdasarkan sabda Nabi Shallallhu ‘Alaihi wa
Sallam
أحلت لنا ميتتان السمك والجراد
“Dihalakan
bagi kita dua jenis bangkai yaitu bangkai ikan dan belalang”.[11]
Ada
pun bangkai manusia maka tidak najis
baik itu bangkai orang muslim maupun orang kafir, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
ولقد كرمنا بني آدم
“Telah kami muliakan anak Adam (manusia)”.[12]
Dan sabda Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam
لا تنجسوا موتاكم فإن المؤمن لا ينجس حيا ولا
ميتا
Janganlah kalian menajisi mayat kalian,
karena sesungguhnya orang mu’min itu
tidak najis baik yang hidup maupun yang sudah mati.[13]
( ويغسل الإناء من ولوغ
الكلب والخنزير سبع مرات إحداهن بالتراب ويغسل من سائر النجاسات مرة واحدة تأتي
عليه والثلاث أفضل )
(Bejana bekas jilatan anjing dan babi
dicuci tujuh kali, salah satunya dengan debu. Dan bersuci dari segala najis itu
sebanyak sekali dan tiga kali lebih utama)
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda
إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم فليرقه ثم ليغسله
سبع مرات
“Apabila ada anjing minum di dalam bejana seorang dari
kalian maka tumpahkanlah ia kemudian cucilah tujuh kali”.[14]
walagha dalam bahasa arab bermakna minum
atau makan dengan ujung lidah dari sebuah tempat (menjilat), ini berarti najas
mughallazhnya terkait dengan walagha (menjilat), air liurnya.
( وإذا تخللت الخمرة بنفسها طهرت وإن خللت بطرح شيء فيها
لم تطهر )
(Jikalau khamar itu berubah menjadi cuka dengan sendirinya maka ia tidak
najis, tapi jikalau ada sesuatu yang dicampurkan dengannya kemudian ia berubah
menjadi cuka maka hukumnya tetap najis)
Perlu diketahui bahwa menyucikan
sesuatu itu terkadang dengan membasuhnya atau dengan cara merubah sifatnya ke
sifat yang lainnya. Jika khamar berubah dengan sendirinya maka ia tidak najis
dan telah suci, karena najis dan keharamannya disebabkan ianya mabuk, ketika ia
berubah maka hilang lah mabuk tersebut dan khamar kembali menjadi suci dan
tidak najis.
Imam nawawi menyebutkan dalam
syarah Muslim bahwa mereka sepakat jika khamar berubah menjadi cuka dengan
sendirinya maka ia telah suci. Tetapi jika ada sesuatu yang dicampur dengannya
atau ada usaha untuk menjadikannya berubah menjadi cuka maka ia tetap najis dan
haram. Berdasarkan hadits bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah
ditanya tentang khamar, apakah boleh dijadikan cuka, maka beliau menjawab
“tidak boleh”.
[1]Abu Syuja’ Rahimahullah
[2]Matan Abi Syuja’
[3]HR. Al-Bukhary dan Muslim
[4]Ibidem
[5]HR. Muslim
[6]HR. Al-Bukhary
[7]HR. Al-Bukhary
[8]HR. Muslim
[9]QS. Al-An’am : 145.
[10]QS. Al-Ma-idah : 3.
[11]HR. Ibnu Majah. (Dishahihkan oleh Al-Albani).
[12]QS. Al-Isra : 70.
[13]HR. Al-Hakim.
[14]HR. Muslim, no: 279.
0 Comments:
Posting Komentar