Rabu, 01 Oktober 2014

,

Segala Sesuatu Yang Keluar Dari Dua Jalan (Qubul Dan Dubur) Adalah Najis

Segala Sesuatu Yang Keluar Dari Dua Jalan (Qubul Dan Dubur) Adalah Najis
(Oleh : Fitra Hudaiya)

قال المصنّف:[1]
( فصل وكل مائع خرج من السبيلسن نجس إلا المني وغسل جميع الأبوال والأرواث واجب إلا بول الصبي الذي لم يأكل الطعام فإنه يطهر برش الماء عليه ولا يعفى عن شيء من النجاسات إلا اليسير من الدم والقيح وما لا نفس له سائلة إذا وقع في الإناء ومات فيه فإنه لا ينجسه والحيوان كله طاهر إلا الكلب والخنزير وما تولد منهما أو من أحدهما والميتة كلها نجسة إلا السمك والجراد وابن آدم ويغسل الإناء من ولوغ الكلب والخنزير سبع مرات إحداهن بالتراب ويغسل من سائر النجاسات مرة واحدة تأتي عليه والثلاث أفضل وإذا تخللت الخمرة بنفسها طهرت وإن خللت بطرح شيء فيها لم تطهر)[2]

( وكلّ مائع خرج من السبيلين نجس الاّ المني)
(Segala sesuatu yangkeluar dari dua jalan (qubul dan dubur) hukumnya adalah najis kecuali air mani.)
Dalam hal ini maka  terlebih dahulu kita harus mengetahui apa arti najis itu sendiri, karena segala sesuatu yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur)  merupakan salah satu macam dari najis.
Najis menurut bahasa berarti Kotoran atau segala sesuatu yang kotor, ada pun menurut istilah adalah  suatu perumpaan terhadap sesuatu yang haram untuk memakainya atau memakannya secara muthlak yang masih memungkinkan untuk dipakai bukan karena kemuliaan, kekotoran, atau mudharatnya bagi tubuh atau akal.
Dan sesungguhnya diharuskan untuk membasuh kencing, tinja,madzi dan muntah, madzi dikatakan najis karena ia keluar dari salah satu dua jalan (qubul dan dubur), berdasarkan hadits dari  Ali Radhiyallaahu ‘anhu beliau berkata :
كنت رجلا مذّاء فاستحييت أن أسأل رسول الله صلّى الله عليه وسلّم لمكان ابنته فأمرت المقداد بن الأسود الكندي فسأله, فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم : "يغسل ذكره و يتوضّأ
Aku sering mengeluarkan madzi akan tetapi aku malu untuk menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena kedudukan putri beliau (sebagai istri Aly),lalu saya meminta Miqdad bin Aswad untuk menanyakannya dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun bersabda “ Hendaklah ia membasuh kemaluannya kemudian berwudhu”.[3]
           
 Ada pun mani apakah ia najis atau tidak, jika ia mani manusia maka di dalamnya terdapat beberapa khilaf di antara para Imam Madzhab, Syafi’iyyah mengatakan bahwa ia tidak najis, Malikiyyah dan Hanafiyyah mengatakan bahwa mani adalah najis berdasarkan hadits di bawah ini:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يغسل المني ثم يخرج إلى الصلاة في ذلك الثوب
Pernah Rasululullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membasuh mani yang dari pakaian beliau kemudian beliau keluar untuk shalat dengan mamakai pakaian tersebut.[4]
                                                
Syafi’iyyah, Ahlul hadits  dan lain-lain berdalilkan dengan hadits :
قول عائشة رضي الله عنها  لقد رأيتني أفرك من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم المني فركا فيصلي فيه
“Aisyah berkata bahwa saya telah mengeruk mani dari pakaian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam  kemudian beliau shalat dengan pakaian tersebut”.[5]
 Ada pun selain mani manusia : jikalau mani anjing atau babi maka ia najis secara ijma’, ada pun jikalau mani hewan selain keduanya maka di dalamnya terdapat khilaf, ada yang mengatakan najis dan ada yang mengatakan tidak najis (suci).
(وغسل جميع الأبوال والأرواث واجب إلاّ بول الصبيّ الذي لم يأكل الطعام فإنّه يطهر برشّ الماء عليه)
(Membasuh kencing dan tinja hukumnya adalah wajib kecuali kencing bayi  yang belum mengkonsumsi makanan (selain ASI), ada pun cara menyucikannya yaitu cukup  dengan memercikkan air  padanya.)

Dalil yang mewajibkannya adalah hadits tentang orang badui yang kencing di dalam masjid kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh sahabat untuk mengambil setimba air lalu menyiram  tempat yang terkena kencing . ada pun cara mensucikan najis maka tergantung kepada bentuk najisnya, ada jenis najis yang kelihatan ‘Ainnya dan ada pula yang tidak, membersihkan najis yang kelihatan ‘ainnya itu dengan cara menghilangkan ‘ain najis sehingga tidak tersisa lagi sesuatu dari najis tersebut baik itu rasa, warna dan baunya. dan najis yang tidak kelihatan ‘ainnya (hukmiyyah) maka disyaratkan untuk membasuhnya.
Kesimpulannya adalah wajib dalam menghilangkan najis itu dengan cara membasuhnya sebagaimana biasanya yaitu dengan menyalurkan air suci ke atasnya kecuali kencing bayi yang belum mengkonsumsi makanan apa pun selain air susu ibunya maka cukup dengan memercikkan air yang mana harus mengenai seluruh tempatyang  terkena kencingdan tidak diwajibkan untuk membasuhnya.
Mushannif mengatakan dengan kata “shabiyyun” atau bayi lelaki  karena tidak termasuk di dalamnya bayi perempuan yang mana air seninya tidak cukup hanya sekedar memercikkan air sebagaimana hal nya bayi laki-laki akn tetapi harus di cuci atau dibasuh. Berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha
عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم  أتى بصبي يرضع فبال في حجره فدعا بماء فصبه عليه ولم يغسله
Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menimang  bayi laki-laki kemudian bayi itu kencing di pangkuan beliau maka beliau pun menyuruh untuk mengambil air lalu memercikkanya dan tidak membasuhnya”.[6]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa  beliau Shallallahu ‘Alaihi wa sallam hanya menyiramnyadan tidak membashunya
Disebutkan juga bahwa beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memercikkan air atas kencing bayi laki-laki dan membasuh kencing bayi perempuan.

( ولا يعفى عن شيء من النجاسات إلا اليسير من الدم والقيح وما لا نفس له سائلة إذا وقع في الإناء ومات فيه فإنه لا ينجسه )
(Dan tidaklah dima’afkan sesuatu dari najis-najis kecuali sedikit dari darah dan nanah. Adapun hewan-hewan yang tidak mempunyai darah yang mengalir (lalat, semut dll) bila jatuh ke dalam wadah kemudian mati di dalam wadah itu maka air itu tidak bernajis)

Darah dan nanah yang sedikit boleh mengenai pakaian dan badan serta sah nya shalat dalam keadaan yang demikian. Ada pun hewan yang darah nya tidak mengalir seperti : lalat, nyamuk, kalajengking, cicak kemudian jatuh kedalam bejana yang berisi air, minyak, mentega dan lain-lain maka ulama berbeda pendapat dalam hal ini, Syafi’iyyah mengatakan tidak najis berdasarkansabdaRasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam                           
إذا وقع الذباب في شراب أحدكم فاليغمسه كلّه ثمّ لينزعه فإنّ في أحد جناحيه داء و في الآخر شفاء 
Jikalau ada lalat yang jatuh ke dalam minuman seseorang dari kalian maka celupkanlah lalat itu kemudian cabut, karena di salah satu sayapnya terdapat penyakit dan di sayap yang lainya penawarnya”.[7]

Perlu diketahui bahwa najis yang tidak dapat dilihat dengan mata seperti percikan air seni dan najis yang lengket di kaki lalat maka hukumnya sama seperti hewan yang darahnya tidak mengalir yakni tidak najis, ini menurut nawawi.

( والحيوان كله طاهر إلا الكلب والخنزير وما تولد منهما أو من أحدهما ) 
(Semua hewan itu suci adalah suci kecuali anjing dan babi, serta yang terlahir dari kedua-duanya atau salah satu dari keduanya)

Pada dasarnya semua hewan itu adalah suci karena ia dimanfaatkan oleh manusia,     dan manfaat itu tidak akan sempurna kecuali ia suci. Syafi’iyyah mengecualikan anjing dan babi, berdasarkan hadits:
طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أن يغسل سبع مرات أولاهن بالتراب
“Sucinya bejana yang telah diminum oleh anjing yaitu dengan menyucinya sebanyak tujuh kali dan yang pertamanya dengan dicampur tanah atau debu”.[8]
Babi lebih najis dari pada anjing karena ia tidak bisa diambil manfaat darinya, dagingnya najis dan segala sesuatu yang terlahir atau berasal darinya,  sebagaiman Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
أو لحم خنزير فإنه رجس
 “Atau daging babi maka ia adalah kotor (najis)”.[9]


( والميتة كلها نجسة إلا السمك والجراد وابن آدم )
 (Semua bangkai itu hukumnya najis kecuali bangkai ikan,belalang dan manusia)
Semua bangkai itu hukumnya najis sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala
حرمت عليكم الميتة
 Diharamkan atas mu bangkai”.[10]
Pengharaman atas sesuatu yang tidak bermanfaat dan juga tidak mudharat dalam memakannya menunjukkan karena kenajisannya, bangkai adalah segala sesuatu yang mati dengan sembelihan yang tidak syar’i.
Semua bangkai najis kecuali bangkai ikan dan belalang, ini berdasarkan sabda Nabi Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam
أحلت لنا ميتتان السمك والجراد
 Dihalakan bagi kita dua jenis bangkai yaitu bangkai ikan dan belalang”.[11]
Ada pun bangkai manusia maka  tidak najis baik itu bangkai orang muslim maupun orang kafir,   Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
ولقد كرمنا بني آدم
Telah kami muliakan anak Adam (manusia)”.[12]
Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
لا تنجسوا موتاكم فإن المؤمن لا ينجس حيا ولا ميتا
Janganlah kalian menajisi mayat kalian, karena sesungguhnya  orang mu’min itu tidak najis baik yang hidup maupun yang sudah mati.[13]


( ويغسل الإناء من ولوغ الكلب والخنزير سبع مرات إحداهن بالتراب ويغسل من سائر النجاسات مرة واحدة تأتي عليه والثلاث أفضل )
(Bejana bekas jilatan anjing dan babi dicuci tujuh kali, salah satunya dengan debu. Dan bersuci dari segala najis itu sebanyak sekali dan tiga kali lebih utama)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda
إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم فليرقه ثم ليغسله سبع مرات
“Apabila ada anjing minum di dalam bejana seorang dari kalian maka tumpahkanlah ia kemudian cucilah tujuh kali”.[14]
walagha dalam bahasa arab bermakna minum atau makan dengan ujung lidah dari sebuah tempat (menjilat), ini berarti najas mughallazhnya terkait dengan walagha (menjilat), air liurnya. 

( وإذا تخللت الخمرة بنفسها طهرت وإن خللت بطرح شيء فيها لم تطهر )
(Jikalau khamar itu berubah menjadi cuka dengan sendirinya maka ia tidak najis, tapi jikalau ada sesuatu yang dicampurkan dengannya kemudian ia berubah menjadi cuka maka hukumnya tetap najis)

Perlu diketahui bahwa menyucikan sesuatu itu terkadang dengan membasuhnya atau dengan cara merubah sifatnya ke sifat yang lainnya. Jika khamar berubah dengan sendirinya maka ia tidak najis dan telah suci, karena najis dan keharamannya disebabkan ianya mabuk, ketika ia berubah maka hilang lah mabuk tersebut dan khamar kembali menjadi suci dan tidak najis.
Imam nawawi menyebutkan dalam syarah Muslim bahwa mereka sepakat jika khamar berubah menjadi cuka dengan sendirinya maka ia telah suci. Tetapi jika ada sesuatu yang dicampur dengannya atau ada usaha untuk menjadikannya berubah menjadi cuka maka ia tetap najis dan haram. Berdasarkan hadits bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang khamar, apakah boleh dijadikan cuka, maka beliau menjawab “tidak boleh”.


[1]Abu Syuja’ Rahimahullah
[2]Matan Abi Syuja’
[3]HR. Al-Bukhary dan Muslim
[4]Ibidem
[5]HR. Muslim
[6]HR. Al-Bukhary
[7]HR. Al-Bukhary
[8]HR. Muslim
[9]QS. Al-An’am : 145.
[10]QS. Al-Ma-idah : 3.
[11]HR. Ibnu Majah. (Dishahihkan oleh Al-Albani).
[12]QS. Al-Isra : 70.
[13]HR. Al-Hakim.
[14]HR. Muslim, no: 279.

0 Comments:

Posting Komentar