Kamis, 05 Juni 2014

CARA IBADAH ORANG SAKIT


Add caption

CARA IBADAH ORANG SAKIT
Penulis : Abu Bakr Ismail Muhammad Miqa
Peringkas : Khotibul Umam
v Pengantar
1.    Latar belakang dipilhnya judul ini dan kebutuhannya
a.    Penulis sering kali ditanya tentang beberapa hukum puasa, haji, shalat, hibah dan   wasat, dan lain-lain.
b.    Perlunya untuk mengetahui hukum ini
c.    Tema ini belum pernah ada yang membahasnya secara ilmiah walaupun sangat penting
2.    Kemudahan islam dalam menghilangkan kesulita-kesulitan dari orang yang sakit.[1]
3.    Penjelasan bahwa sakit salah satu sebab di ampuninya dosa seorang hamba
Seorang mukmin yang tertimpa musibah atau sakit, yang terkadang disebabkan oleh maksiat yang ia kerjakan , maka penyakit itu menjadi sebab di ampuni dosanya dan dihapuskan kesalahannya, adapun jika kesalahannya lebih sedikit daripada musibah yang menimpanya, maka ditetapkan baginya pahala dan diangkat derajatnya, dan hal itu tergantung kesabaran dan keridhaannya.
Dalam buku ini ada 4 judul besar yang menjadi bahan bahasan penulis, sehingga menjadi sebuah karya ilmiah, yaitu : hukum bersuci, hukum shalat, hukum puasa, hukum haji. Yang nanti akan dijelaskan satu persatu secara global.[2]

Ø hukum bersuci
1.    definisi tayamum
tayamum secara bahasa berarti sengaja[3], sedangkan secara syara’ adalah sengaja menuju tanah yang berdebu yang suci untuk mengusap wajah dan kedua tangan dengan niat agar dibolehkan melakukan shalat ketika tidak ada air atau tidak dapat menggunakannya.
2.    Hikmah diberlakukannya tayamum
Hikmah diberlakukannya tayamum adalah memudahkan dan meringankan umat islam[4].
3.    Dalil-dalil tentang disyariatkannya tayamum :
-       QS. An-Nisa : 29,  43
-       QS. Al-Maidah : 6
-       Adapun dari sunnah adalah hadist shahih dari jabir bin abdulloh , bahwa rosululloh shalallohu ‘alaihi wa sallam bersabdaaku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada seorangpun sebelumku : aku ditolong dengan adanya rasa takut pada musuh sejak satu bulan perjalanan,  dijadikan untukku tanah sebagai tempat sujud dan untuk bersuci,  maka siapa saja dari umatku yang mendapatkan waktu untuk shalat maka hendaknya ia shalat... sampai akhir hadist[5]
-       Adapun ijma ulama telah menyimpulkan di bolehkannya tayamum untuk orang sakit dan orang yang sedang dalam perjalanan[6] secara umum meskipun ahli fiqih berbeda pendapat tentang penyakit yang membolehkan tayamum.
4.    Tayamum orang yang sakit
a.    Sakit adalah menurunnya kondisi tubuh dari batas normal dan kondisi biasa menjadi tidak biasa atau menyimpang[7].
b.    Penyakit terbagi menjadi 3 macam :
-       Penyakit berat dimana orang yang bersangkutan khawatir akan mati apabila menggunakan air karena dinginnya air atau karena sebab yang ada pada orang itu sendiri, orang yang seperti ini dibolehkan melakukan tayamum.
-       Penyakit ringan tetapi ia timbul suatu cacat, bertambah parah, lama sembuhnya atau mengakibatkan sesuatu yang buruk pada anggota tubuh yang tampak, dibolehkan tayamum namun para ulama masih berselisih dalam pembolehannya.
-       Penyakit ringan dimana ia tidak khawatir dengan menggunakan air akan menyebabkan kematian. Tidak dibolehkan tayamum
5.    Pendapat-pendapat ulama tentang apa yang dibolehkan sekali tayamum, penulis berpendapat bahwa satu kali tayamum hanya boleh untuk melakukan sekali shalat fardhu, tetapi boleh melakukan beberapa shalat sunnah sebanyak yang di inginkan dengan satu kali tayamum, karena tayamum tiap kali akan shalat itu tidak sulit dan tidak membahayakan.
6.    Masalah mengusap jabiroh dan sejenisnya
a.      Pengertian jabiroh adalah kulit kayu atau sejenisnya yang diletakkan oleh dokter atau orang lain, yang membealutnya pada anggota tubuh yang patah atau semacamnya[8].
b.      Ringkasan pendapat ahli fiqih tentang mengsap perban dan sejenisnya, para ulama sepakat bahwa mengusap perban tidak dibatasi waktunya, melainkan sampai sembuh lukanya, sedangkan kecenderungan penulis adalah bahwa gabungan antara membasuh, mengusap dan tayammum tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadist shahih, al-Qur’an menyebutkan berwudhu pada satu kondisi dan tayammum pada kondisi yang lain, demikian pula yang disebutkan oleh hadist shahih, Alloh ta’ala membolehkan tayammum bagi orang yang sakit yang mendapatkan air, tetapi takut menggunakannya karena bahaya, orang yang patah anggota tubuhnya atau terluka yang dikhawatirkan menjadi penyakit atas dirinya jika ia menggunakan air, maka ia boleh bertayammum saja berdasarkan nash al-Qur’an dan hadist. Sedangkan orang yang dapat membasuh sebagian anggotanya dan pada anggotayang lain dibalut perban dan akan berbahaya jika dibuka, maka ia hanya mengusap perbannya saja tanpa harus menggabung antara mengusap dan tayammum, sebagaimana tidak menggabungkan antara mengusap dan tayammum ketika mengusap khuf dan semua anggota yang diusap.
7.      Bersucinya wanita haidh yang istihadhah, pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa bersucinya wanita yang istihadhah adalah berwudhu setiap akan shalat dan tidak wajib mandi, kecuali hanya sekali ketika ia merasa haidhnya sudah selesai.
8.      Bersucinya orang yang menderita penyakit enuresis, cepat keluar madzi dan sejenisnya. Penulis berpendapat bahwa orang-orang yang berpenyakit seperti ini, mereka berwudhu dan shalat dengan wudhu itu, baik shalat sunnah atau shalat yang tertinggal sampai masuk waktu shalat yang lain, karena rosululloh shalallohu ‘alaihi wa sallam memerintahkan fathimah untuk wudhu setiap akan shalat tanpa ada perincian. Dan membuat perincian dalam masalah ini adalah menyalahi hadist. Sedangkan islam datang dengan membawa kemudahan dan mengangkat kesulitan dari para penderita penyakit.
Ø Hukum shalat
1.      Shalat duduk bagi orang yang sakit, para ulama sepakat bahwa orang yang tidak mampu berdiri boleh shalat dengan posisi duduk. Nabi Muhammad shalallohu alaihi wa sallam bersabda :
Artinya : “ shalatlah kamu dalam keadaan berdiri, jika kamu tidak mampu berdiri, maka shalatlah dengan duduk. Dan jika kamu tidak mampu duduk, maka shalatlah dengan berbaring, jika kamu tidak juga mampu berbaring, maka shalatlah dengan terlentang, karena Alloh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (HR> al-Bukhari )
2.      Apakah orang yang sakit boleh mengangkat sesuatu ke wajahnya untuk sujud diatasnya apabila tidak kuat berdiri dan duduk untuk shalat serta tidak mampu membungkukkan badan untuk sujud. Pendapat yang paling kuat adalah bahwasanya Alloh tidak membebani seorang hamba kecali dengan kemampuannya, dan dengan pekerjaan dan perkataanya, rosululloh shalalloh ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan penghilangan kesulitan dari orang yang sakit dalam shalat, rosulullloh melakukan shalat dengan posisi duduk dan tidak mengangkat sesuatu untuk sujud diatasnya, beliau juga memerintahkan para sahabat jika salah seorang diantara mereka ada yang sakit, untuk shalat semampunya, sebagaimana telah disebutkan dalam hadist riwayat jabir dan yang lainnya yang terdahulu setelah melarangnya shalat diatas bantal dan kayu.
3.      Shalaynya orang yang sakit mata yang khawatir menjadi buta apabila sujud. Penulis berpendapat bahwa pendapat yang kuat yang sesuai dengan dalil-dalil yang shahih, dan sesuai dengan keluasan dan kemudahan dalam islam rosululloh shalalloh shalat dengan posisi duduk ketika lengan bagian kanannya terperosok kedalam lubang. Bagaimanapun hal ini menjadi dalil dibolehkannya hal itu selain juga karena seseorang dibolehkan meninggalkan wudhu jika tidak mendapatkan air,demikian juga seperti dibolehkannya seseorang meninggalkan shalat jumat ketika ia menjadi musafir dan lain sebagainya.
4.      Apakah orang yang pingsan wajib mengqodho shalat-shalatnya yang luput. Pendapat yang paling kuat adalah orang yang pingsan tidak wajib mengqodho shalat-shalatnya yang luput ketika ia pingsan, kecuali jika ia sadar pada sebagian waktu shalat, seperti orang gila dan wanita yang haidh, dimana diangkat kewajiban shalatnya ketika gila dan haidh. Baik orang yang pingsan maupun gila, hilang ingatannya pada waktu itu, dan menggqodha shalat terhadap orang yang pingsan mengandung kesulitan baginya. Karena itulah islam meniadakan qadha-qadha shalat bagi orang gila dan wanita yang haidh, sebagai tanda kasih sayang dan kemudahan baginya dalam keadaan udzur. Demikian pula halnya pada orang yang pingsan.
5.      Empat masalah yang berkaitan dengan shalatnya orang sakit
a.    Maslah pertama : dibolehkan menjamak shalat bagi orang yang sakit
b.    Masalah kesua  : sakit merupakan udzur seseorang dalam meninggalkan jama’ah dan jum’at
c.    Jika orang sakit mampu shalat sendiri dengan berdiri, tetapi tidak mampu shalat dengan berdiri bersama imam karena panjangnya bacaannya, maka yang lebih utama ia shalat sendiri dengan berdiri, karena berdiri adalah rukun shalat dan sah dilaksanakan tanpa berjamaah
d.    Jika seseorang memulai shalatnya dengan berdiri, kemudian ada satu halangan yang membuatnya tidak mampu berdiri, maka ia selesaikan shalatnya dengan duduk. Demikian pula orang yang sakit yang memulai shalatnya dengan dudukkemudian ia sehat pada sebagian shalatnya, maka ia berdiri untuk menyempurnakan shalatnya.
6.      Orang yang mampu berdiri mengikuti imam. Penulis berpendapat bahwa yang utama apabila seorang imam itu sakit dan tidak mampu berdiri, agar mencari seseorang untuk menggantikannya menjadi imam, untuk menghindari perbedaan pendapatsebagaimana yang dikatakan oleh ibn qudamah. Kita semua tahu bahwa rosululloh shalallohu ‘alaihi wa sallam meminta abu bakar untuk menggantikannya ketika beliau sakit, karena shalat orang yang berdiri itu lebih utama dari shalatnya orang duduk.
Ø Hukum puasa
1.    Batasan sakit yang penderitanya dibolehkan untuk berbuka dan perbedaan pendapat para ulama tentang hal tersebut. Penyakit yang membuat seseorang boleh untuk tidak berpuasa adalah penyakit yang menyebabkan seseorang tidak mampu berpuasa atau ia mampu berpuasa tetapi harus bersusah payah dan merasakan kesulitan karena sakitnya atau ia khawatir dirinya akan binasa. Kesimpulannya adalah orang yang sakit memiliki dua keadaan dalam puasa :
a.    Sama sekali tidak mampu berpuasa,  maka orang ini wajib berbuka dan haram baginya berpuasa karena ia tidak mampu untuk berpuasa.
b.    Mampu berpuasa tetapi membahayakan dan mengandung kesulitan, orang yang keadaannya demikian boleh berbuka[9].
2.    Hukum orang tua yang tidak kuat puasa dan orang sakit yang tidak diharapkan sembuhnya. Pendapat yang paling kuat adalah, pedapat jumhur para ulama  lebih kuat, sebagaimana Alloh ta’ala berfirman :
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya : “Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”. (QS; alBaqoroh 184 )
Kemudian Alloh menyertakan hukum kedua orang ini dengan hukum lain yang tidak masuk didalamnya orang yang sakit dan musafir yang telah disebutkan tadi, dimana Alloh berfirman :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Artinya : “ dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalannya (jika mereka tidak berpuasa), membayar fidyah, yaiotu memberi makan orang miskin”. (QS; al-Baqoroh 184 ).
3.    Hukum wanita hamil dan ibu yang menyusui jika berbuka karena khawatir membahayakan dirinya, atau anaknya, atau membahayakan dirinya dan anaknya. Pendapat yang dipilih adalah yang mengatakan wanita hamil dan ibu yang menyusui jika tidak berpuasa karena mengkhawatirkan anaknya saja, maka ia wajib mengqodha dan tidak membayar fidyah.
Ringkasan pendapat ahli fiqih tentang wanita hamil dan ibu yang menyusui
1.    Boleh tidak berpuasa, tetapi wajib membayar fidyah, dan tidak wajib mengqodha, ini pendapat ibnu umar dan pengikutnya.
2.    Boleh tidak berpuasa, tetapi wajib mengqodha dan tidak membayar fidyah, ini pendapat ‘atha, abu hanifah, dan mayoritas sahabat, dan tabi’in. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh penulis.
3.    Boleh tidak berpuasa tetapi wajib mengqodha dan membayar fidyah, ini pendapat imam syafi’i dan imam ahmad
4.    Wanita hamil wajib mengqodha dan tidak membayar fidyah. Ibu menyusui wajib mengqhadha dan membayar fidyah. Ini pendapat imam malik.
4.    Jika penduduk suatu negeri berpuasa 29 hari, lalu ada orang yang sakit tidak berpuasa, apakah ia harus mengqadha 29 hari ataukah 30 hari ?, jika penduduk suatu negeri berpuasa 29 hari lalu mereka berbuka karena melihat bulan syawwal, sedangkan diantara mereka ada orang sakit yang tidak berpuasa, maka jika orang sakit itu mengetahui jumlah hari puasa yang dilakukan oleh penduduk negeri itu, maka ia wajib mengqadha sebanyak hari tersebut, karena qadha itu berdasarkan hari yang ditinggalkan.
Sedangkan jika orang sakit itu tidak tahu jumlah hari puasa penduduk negeri, maka ia berpuasa 30 hari, karena pada asalnya satu bulan itu 30 hari, dan yang kurang dari 30  hari itu sedikit. Maka jika ia tidak tahu, ia harus menjalankan yang asal.
5.    Hukum orang yang menunda qadha puasa ramadhan hingga datang ramadhan berikutnya karena udzur atau lalai.
Ringkasan pendapat ulamatentang orang yang menunda qadha ramadhan sampai datang ramadhan berikutnya.
1.    Jika menunda qadha ramadhan karena alasan yang tepat, ia hanya wajib qadha saja. Ini pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in
2.    Ia wajib puasa saaat ini, dan membayar fidyah puasa yang lalu, serta tidak wajib mengqadha. Ini adalah pendapat ibn abbas dan ibn umar.
Hukum orang yang menunda qadha ramadhan tanpa udzur sampai datang ramadhan berikutnya
1.    Menurut mayoritas sahabat dan tabi’in, ia wajib puasa saat ini, dan mengqadha puasa yang ditinggalkan, serta memberi makan orang yang miskin setiap hari
2.    Abu hanifah dan hasan al-bashri serta orang yang mengikutinya berpendapat, ia wajib mengqadha dan tidak membayar fidyah.
6.    Hukum orang yang meninggal dunia yang masih memiliki kewajiban puasa ramadhan, ringkasan pendapat ulama tentang orang  yang meninggal dan mempunyai tanggungan puasa ramadhan.
1.    Jika meninggalnya sebelum memungkinkannya untuk qadha puasa, maka menurut mayoritas para ulama tidak ada kewajiban apa-apa atasnya. Tetapi menurut thawus dan qatadah, walinya wajib membayarkan fidyah unuknya.
2.    Jika ia lalai mengqadha puasa, lalu ia meninggal dunia, maka menurut ahli hadist, walinya menggantikan puasa untuknya, sedangkan menurut ibn abbas, aisyah , ibn umar, dan imam mazhab yang empat, walinya tidak boleh menggantikan puasa untuknya, melainkan membayarkan fidyah untuknya.
3.    Menurut imam ahmad, untuk puasa nazar, walinya menggantikan puasa, sedangkan untuk puasa ramadhan walinya membayarkan fidyah untuknya.

Pendapat yang kuat, adalah pedapat yang mengatakan bahwa orang yang meninggal dunia dan mempunya qadha ramadhan tetapi ia lalai, maka ia harus membayar fidyah, dan boleh menggantikannya puasa, untuk puasa nazar bukan puasa ramadhan.
7.    Hukum orang yang pingsan dan gila disaat menjalankan puasa ramadhan. Pendapat penulis adalah orang gila tidak wajibqadha, tetapi hanya mengqadha hari-hari yang ketika ia sembuh, jika ia tidak berpuasa pada hari-hari tersebut. Karena gila adalah salah satu keadaan yang menghilangkan taklif.

Ø Hukum haji
1.    Hukum berhaji orang yang lumpuh dan orang yangsakit serta pendapat ahli fiqih tentang hukum menggantikan haji. Ditinjau dari segi pelaksanaannya ibadah dibagi menjadi 3 macam :
A.   Ibadah fisik seperti shalat dan puasa, ibadah ini tidak melibatkan harta, tujuan ibadah ini adalah mendekatkan diri dan tunduk kepada Alloh SWT.
B.   Ibadah harta seperti zakat dan sedekah.
C.   Ibadah yang melibatkan harta dan badan, seperti haji.
Bagian ibadah pertamatidak boleh digantikan karena yang dituntut melaksanakannya adalah diri pribadi.
Ringkasan pendapat para ahli fiqih
Kesimpulan dalam masalah menggantikan haji untuk orang yang lumpuh, orang sakit, orang yang sangat tua, orang yang terkena penyakit yang dapat menghalangi melaksanakan haji sendiri adalah sebagai berikut :
1.    Para ulama mazhab hanafi, syafi’i, dan hanbli berpendapat bahwa haji hukumnya adalah wajib atas orang-orang yang telah memenuhi syarat-syarat wajib haji, tetapi ia lemah karena suatu halangan yang membuat putus asaseperti lumpuh atau penyakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya, atau hal seperti itu. Mereka berpendapat bahwa ibadah haji sekalipun berupa pekerjaan fisik dan harta, tetapi dari segi harta tetap lebih dominan karena itu boleh digantikan , mereka memberi alasan dengan dalil-dalil khas dan ‘amiyah dan hadist-hadist yang lainnya, yang menunjukkan bolehnya menggantikan haji orang yang masih hidup tetapi tidak dapat melaksanakannya.
2.    Para ulama mazhab maliki berpendapatbahwa ibadah haji tidak bisa digantikan, sekalipun ibadah ini adalah pekerjaan fisik dan harta, tetapi dari segi fisik lebih dominan, barangsiapa yang tidak mampu pergi haji sendiri maka ia tidak wajib haji, dan tidak boleh menggantikan dengan orang lain. Karena kewajiban haji telah gugur darinya sama sekali, dan ia dikategorikan orang yang tidak mampu, sedangkan kemampuan itu merupakan syarat wajib haji. Karena ia iabadah yang ketika mampu tidak dapat digantikan, maka dalam keadaan tidak mampupun, (tidak dapat melaksanakannya sendiri) tidak dapat digantikan.
3.    Para ulama berpendapat bahwa orang sakit yang dapat diharapkan kesembuhannya, ia tidak boleh digantikan hajinya. Jika ia telah digantikan, kewaajibannya belum gugur. Dan jika ia meninggal dunia ada perbedaan pendapat yang sebelumnya telah disebutkan.
4.    Tidak sah mengupah orang untuk melaksanakan haji menurut ulama mazhab hanafi. Ini juga salah satu riwayat dari imam ahmad, riwayat kedua mengatakan sah mengupah orang untuk melaksanakan haji, dan ini adalah pendapat imam syafi’i
Sedangkan pendapat yang paling kuat adalah pendapat mayoritas ulama, yaiotu yang mengatakan bahwa haji dapat digantikan.
2.    Syarat sah nya penggantian haji. Pendapat yang paling kuat adalah jika ia tidak mampu melaksanakan haji untuk dirinya sendiri, maka haji tidak wajib atasnya, karena ia tidak mampu, sedangkan orang yang tidak mampu ia tidak wajib haji, adapun orang yang wajib melaksanakan haji itu karena dia mampu, maka penulis berpendapattidak boleh melaksanakan haji untuk orang lainsebelum ia melaksanakan haji untuk dirinya sendiri.
3.    Hukum orang yang terhalang oleh sakit, penjelasan tentang ihshar dan hashr menurut bahasa, perbedaan pendapat ulama mengenai ihshar dalam haji dan umroh. Menurut bahasa ihshar berarti terhalang,
Ringkasan pendapat ulama mengenai ihshar :
a.    Halangan yang dimaksud oleh ayat 5 dalam surat at-taubah dan al-Baqoroh : 273 itu adalah halangan karena musuh bukan karena sakit. Barangsiapa yang dihalangi musuh dan tercegah untuk melanjutkan ibadah haji dan umroh, maka ia boleh bertahallul, baik musuh itu orang islam atau orang kafir. Orang yang terhalang karena sakit dan sejenisnya lalu tercegah untuk melaksanakan haji dan umroh, maka ia tidak boleh tahallul sampai thawaf dan sa’i. Dan ia wajib mengulang haji tahun depan.
b.    Yang dimaksud halangan pada kedua ayat diatasmeliputi semua rintangan yang menghalangi sampainya seseorang ke tanah suci, baik berupa penyakit atau musuhatau lainnya. Orang yang terhalang dengan penyakit dan sejenisnyaatau terhalang musuh untuk melanjutkan haji atau umroh, maka ia boleh bertahallul.
Sedangkan pendapat yang paling kuat menurut penulis adalah pendapat pertama sedangkan pendapat kedua dengan alasan yang juga kuat tetapi memungkinkan untuk menerima takwil .
4.    Hukum menetukan syarat dalam haji, hukum orang yang menderita penyakit pada waktu ihram haji atau umroh dan tidak menetukan syarat tahallul. Boleh menetukan syarat dalam haji karena sakit dan lainnya, misalnya seseorang mengatakan, “ jika ada sesuatu yang menghalangi saya, maka saya akan bertahallul dimana saya terhalang.” Maka jika ia terhalang maka ia boleh bertahallul ditempat ia terhalang tersebut dan tidak ada kewajiban apa-apa atasnya. Ini adalah pendapat ulama hanbali dan salah satu dari dua pendapat asy-syafi’i.
5.    Hukum datang malam hari dari muzdalifah untuk melontar dan segera melakukan thawaf karena takut berdesakan dan karena terganggu bagi orang-orang yang mempunyai uzur. Bermalam di muzdalifah adalah salah satu kewajiban haji, barangsiapa yang meninggalkannya maka wajib membayar DAM karena nabi bermalam di mzdalifah. Haji seseorang tidak batal jika hanya lewat dimuzdalifah pada malam hari dan tidak bermalam disana. Karena nabi bersabda : “haji adalah wuquf diarafah “. Walaupun demikian ia telah meninggalkan kewajiban, sehingga wajib membayar dam.
Nabi shalallohu ‘alaihi wa sallam, mengizinkan bagi mereka yang mempunya uzur, seperti orang sakit, orang yang lemah, perempuan, dan anak-anak untuk datang setelah lewat tengah malam, kemudian melontar jumroh sebelum orang-orang datang setelah shalat subuh atau sebelumnya.
6.    Hukum menggantikan melontar untuk orang sakit. Orang yang mempunyai uzur yang menghalanginya melontar sendiri seperti sakit dan lainnya, boleh mencari ganti orang yang melontarkan untuknya, baik penyakit itu ada harapan untuk sembuh atau tidak. Ini adalah pendapat jumhur para ulama.
7.    Hukum thawaf untuk orang yang memiliki tunggangan ( kendaraan ) dan orang yang ditandu/dipanggul karena uzur seperti sakit. Orang yang sakit dan semacamnya boleh melakukan thawaf dengan dipandu atau dengan menaiki tunggangan atau ( kendaraan ).
8.      Fidyah karena adanya gangguan. Barangsiapa yang berat penyakitnya atau mengalami gangguan di kepalanya maka ia boleh berobat dan menghilangkan gangguan darinya dan harus membayar fidyah.[10]
9.      Hukum thawaf wada’ bagi orang sakit. Hadist-hadist yang ada menunjukkan denga jelas atas wajibnya melakukan thawaf wada bagi selain wanita yang sedang haidh dan nifas.
Wallohu a’lam bis shawab...






[1] Firman Alloh dalam surat Al-hajj : 78, Al-Baqroh :185, Al-Maidah : 6
[2] Jika ingin penjelasan secara terperinci, silahkan merujuk kebuku.
[3] Dalilnya surat Al-aqoroh : 267
[4] Dalilnya surat Al-maidah : 6
[5] Fath al-bari syarh shahih al-bukhari, juz 1. Hal 87.
[6] Lihat tafsir al-qurthubi, juz 5 hal 216.
[7] Lihat lisanul arab juz 9. Hal 98.
[8] Dalil-dalilnya bisa dirujuk di buku hal 48.
[9] Al-Baqoroh 185
[10] Hal ini berdasarkan firman Alloh dalam surat al-Baqoroh : 196

0 Comments:

Posting Komentar