Add caption |
CARA IBADAH ORANG SAKIT
Penulis : Abu Bakr Ismail Muhammad Miqa
Peringkas : Khotibul Umam
v Pengantar
1. Latar belakang dipilhnya judul ini dan kebutuhannya
a.
Penulis sering kali
ditanya tentang beberapa hukum puasa, haji, shalat, hibah dan wasat, dan lain-lain.
b. Perlunya untuk mengetahui hukum ini
c. Tema ini belum pernah ada yang membahasnya secara ilmiah walaupun sangat
penting
2. Kemudahan islam dalam menghilangkan kesulita-kesulitan dari orang yang
sakit.[1]
3. Penjelasan bahwa sakit salah satu sebab di ampuninya dosa seorang hamba
Seorang mukmin yang
tertimpa musibah atau sakit, yang terkadang disebabkan oleh maksiat yang ia
kerjakan , maka penyakit itu menjadi sebab di ampuni dosanya dan dihapuskan
kesalahannya, adapun jika kesalahannya lebih sedikit daripada musibah yang
menimpanya, maka ditetapkan baginya pahala dan diangkat derajatnya, dan hal itu
tergantung kesabaran dan keridhaannya.
Dalam buku ini ada 4
judul besar yang menjadi bahan bahasan penulis, sehingga menjadi sebuah karya
ilmiah, yaitu : hukum bersuci, hukum shalat, hukum puasa, hukum haji. Yang
nanti akan dijelaskan satu persatu secara global.[2]
Ø hukum bersuci
1. definisi tayamum
tayamum secara bahasa berarti sengaja[3],
sedangkan secara syara’ adalah sengaja menuju tanah yang berdebu yang suci
untuk mengusap wajah dan kedua tangan dengan niat agar dibolehkan melakukan
shalat ketika tidak ada air atau tidak dapat menggunakannya.
2. Hikmah diberlakukannya tayamum
Hikmah diberlakukannya tayamum adalah memudahkan dan meringankan umat islam[4].
3. Dalil-dalil tentang disyariatkannya tayamum :
- QS. An-Nisa : 29, 43
- QS. Al-Maidah : 6
- Adapun dari sunnah adalah hadist shahih dari jabir bin abdulloh , bahwa
rosululloh shalallohu ‘alaihi wa sallam bersabdaaku diberikan lima perkara yang
tidak diberikan kepada seorangpun sebelumku : aku ditolong dengan adanya rasa
takut pada musuh sejak satu bulan perjalanan,
dijadikan untukku tanah sebagai tempat sujud dan untuk bersuci, maka siapa saja dari umatku yang mendapatkan
waktu untuk shalat maka hendaknya ia shalat... sampai akhir hadist[5]
- Adapun ijma ulama telah menyimpulkan di bolehkannya tayamum untuk orang
sakit dan orang yang sedang dalam perjalanan[6]
secara umum meskipun ahli fiqih berbeda pendapat tentang penyakit yang
membolehkan tayamum.
4. Tayamum orang yang sakit
a. Sakit adalah menurunnya kondisi tubuh dari batas normal dan kondisi biasa
menjadi tidak biasa atau menyimpang[7].
b. Penyakit terbagi menjadi 3 macam :
- Penyakit berat dimana orang yang bersangkutan khawatir akan mati apabila
menggunakan air karena dinginnya air atau karena sebab yang ada pada orang itu
sendiri, orang yang seperti ini dibolehkan melakukan tayamum.
- Penyakit ringan tetapi ia timbul suatu cacat, bertambah parah, lama
sembuhnya atau mengakibatkan sesuatu yang buruk pada anggota tubuh yang tampak,
dibolehkan tayamum namun para ulama masih berselisih dalam pembolehannya.
- Penyakit ringan dimana ia tidak khawatir dengan menggunakan air akan
menyebabkan kematian. Tidak dibolehkan tayamum
5. Pendapat-pendapat ulama tentang apa yang dibolehkan sekali tayamum, penulis berpendapat
bahwa satu kali tayamum hanya boleh untuk melakukan sekali shalat fardhu,
tetapi boleh melakukan beberapa shalat sunnah sebanyak yang di inginkan dengan
satu kali tayamum, karena tayamum tiap kali akan shalat itu tidak sulit dan
tidak membahayakan.
6. Masalah mengusap jabiroh dan sejenisnya
a.
Pengertian jabiroh adalah
kulit kayu atau sejenisnya yang diletakkan oleh dokter atau orang lain, yang
membealutnya pada anggota tubuh yang patah atau semacamnya[8].
b.
Ringkasan pendapat ahli
fiqih tentang mengsap perban dan sejenisnya, para ulama sepakat bahwa mengusap
perban tidak dibatasi waktunya, melainkan sampai sembuh lukanya, sedangkan
kecenderungan penulis adalah bahwa gabungan antara membasuh, mengusap dan
tayammum tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadist shahih, al-Qur’an
menyebutkan berwudhu pada satu kondisi dan tayammum pada kondisi yang lain,
demikian pula yang disebutkan oleh hadist shahih, Alloh ta’ala membolehkan
tayammum bagi orang yang sakit yang mendapatkan air, tetapi takut
menggunakannya karena bahaya, orang yang patah anggota tubuhnya atau terluka
yang dikhawatirkan menjadi penyakit atas dirinya jika ia menggunakan air, maka
ia boleh bertayammum saja berdasarkan nash al-Qur’an dan hadist. Sedangkan
orang yang dapat membasuh sebagian anggotanya dan pada anggotayang lain dibalut
perban dan akan berbahaya jika dibuka, maka ia hanya mengusap perbannya saja
tanpa harus menggabung antara mengusap dan tayammum, sebagaimana tidak
menggabungkan antara mengusap dan tayammum ketika mengusap khuf dan semua
anggota yang diusap.
7.
Bersucinya wanita haidh
yang istihadhah, pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa bersucinya
wanita yang istihadhah adalah berwudhu setiap akan shalat dan tidak wajib
mandi, kecuali hanya sekali ketika ia merasa haidhnya sudah selesai.
8.
Bersucinya orang yang
menderita penyakit enuresis, cepat keluar madzi dan sejenisnya. Penulis berpendapat
bahwa orang-orang yang berpenyakit seperti ini, mereka berwudhu dan shalat
dengan wudhu itu, baik shalat sunnah atau shalat yang tertinggal sampai masuk
waktu shalat yang lain, karena rosululloh shalallohu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan fathimah untuk wudhu setiap akan shalat tanpa ada perincian. Dan
membuat perincian dalam masalah ini adalah menyalahi hadist. Sedangkan islam
datang dengan membawa kemudahan dan mengangkat kesulitan dari para penderita
penyakit.
Ø Hukum shalat
1.
Shalat duduk bagi orang
yang sakit, para ulama sepakat bahwa orang yang tidak mampu berdiri boleh shalat
dengan posisi duduk. Nabi Muhammad shalallohu alaihi wa sallam bersabda :
Artinya : “ shalatlah kamu dalam keadaan berdiri, jika
kamu tidak mampu berdiri, maka shalatlah dengan duduk. Dan jika kamu tidak
mampu duduk, maka shalatlah dengan berbaring, jika kamu tidak juga mampu
berbaring, maka shalatlah dengan terlentang, karena Alloh tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (HR> al-Bukhari )
2.
Apakah orang yang sakit
boleh mengangkat sesuatu ke wajahnya untuk sujud diatasnya apabila tidak kuat
berdiri dan duduk untuk shalat serta tidak mampu membungkukkan badan untuk
sujud. Pendapat yang paling kuat adalah bahwasanya Alloh tidak membebani seorang
hamba kecali dengan kemampuannya, dan dengan pekerjaan dan perkataanya,
rosululloh shalalloh ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan penghilangan kesulitan
dari orang yang sakit dalam shalat, rosulullloh melakukan shalat dengan posisi
duduk dan tidak mengangkat sesuatu untuk sujud diatasnya, beliau juga
memerintahkan para sahabat jika salah seorang diantara mereka ada yang sakit,
untuk shalat semampunya, sebagaimana telah disebutkan dalam hadist riwayat
jabir dan yang lainnya yang terdahulu setelah melarangnya shalat diatas bantal
dan kayu.
3.
Shalaynya orang yang
sakit mata yang khawatir menjadi buta apabila sujud. Penulis berpendapat
bahwa pendapat yang kuat yang sesuai dengan dalil-dalil yang shahih, dan sesuai
dengan keluasan dan kemudahan dalam islam rosululloh shalalloh shalat dengan
posisi duduk ketika lengan bagian kanannya terperosok kedalam lubang.
Bagaimanapun hal ini menjadi dalil dibolehkannya hal itu selain juga karena
seseorang dibolehkan meninggalkan wudhu jika tidak mendapatkan air,demikian
juga seperti dibolehkannya seseorang meninggalkan shalat jumat ketika ia
menjadi musafir dan lain sebagainya.
4.
Apakah orang yang pingsan
wajib mengqodho shalat-shalatnya yang luput. Pendapat yang paling kuat adalah
orang yang pingsan tidak wajib mengqodho shalat-shalatnya yang luput ketika ia
pingsan, kecuali jika ia sadar pada sebagian waktu shalat, seperti orang gila
dan wanita yang haidh, dimana diangkat kewajiban shalatnya ketika gila dan haidh.
Baik orang yang pingsan maupun gila, hilang ingatannya pada waktu itu, dan
menggqodha shalat terhadap orang yang pingsan mengandung kesulitan baginya.
Karena itulah islam meniadakan qadha-qadha shalat bagi orang gila dan wanita
yang haidh, sebagai tanda kasih sayang dan kemudahan baginya dalam keadaan
udzur. Demikian pula halnya pada orang yang pingsan.
5.
Empat masalah yang
berkaitan dengan shalatnya orang sakit
a. Maslah pertama : dibolehkan menjamak shalat bagi orang yang sakit
b. Masalah kesua : sakit merupakan
udzur seseorang dalam meninggalkan jama’ah dan jum’at
c. Jika orang sakit mampu shalat sendiri dengan berdiri, tetapi tidak mampu
shalat dengan berdiri bersama imam karena panjangnya bacaannya, maka yang lebih
utama ia shalat sendiri dengan berdiri, karena berdiri adalah rukun shalat dan
sah dilaksanakan tanpa berjamaah
d. Jika seseorang memulai shalatnya dengan berdiri, kemudian ada satu halangan
yang membuatnya tidak mampu berdiri, maka ia selesaikan shalatnya dengan duduk.
Demikian pula orang yang sakit yang memulai shalatnya dengan dudukkemudian ia
sehat pada sebagian shalatnya, maka ia berdiri untuk menyempurnakan shalatnya.
6.
Orang yang mampu berdiri
mengikuti imam. Penulis berpendapat bahwa yang utama apabila seorang imam
itu sakit dan tidak mampu berdiri, agar mencari seseorang untuk menggantikannya
menjadi imam, untuk menghindari perbedaan pendapatsebagaimana yang dikatakan
oleh ibn qudamah. Kita semua tahu bahwa rosululloh shalallohu ‘alaihi wa sallam
meminta abu bakar untuk menggantikannya ketika beliau sakit, karena shalat
orang yang berdiri itu lebih utama dari shalatnya orang duduk.
Ø Hukum puasa
1. Batasan sakit yang penderitanya dibolehkan untuk berbuka dan perbedaan
pendapat para ulama tentang hal tersebut. Penyakit yang membuat
seseorang boleh untuk tidak berpuasa adalah penyakit yang menyebabkan seseorang
tidak mampu berpuasa atau ia mampu berpuasa tetapi harus bersusah payah dan
merasakan kesulitan karena sakitnya atau ia khawatir dirinya akan binasa.
Kesimpulannya adalah orang yang sakit memiliki dua keadaan dalam puasa :
a. Sama sekali tidak mampu berpuasa,
maka orang ini wajib berbuka dan haram baginya berpuasa karena ia tidak
mampu untuk berpuasa.
b. Mampu berpuasa tetapi membahayakan dan mengandung kesulitan, orang yang
keadaannya demikian boleh berbuka[9].
2. Hukum orang tua yang tidak kuat puasa dan orang sakit yang tidak diharapkan
sembuhnya. Pendapat yang paling kuat adalah, pedapat jumhur para ulama lebih kuat, sebagaimana Alloh ta’ala
berfirman :
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya : “Maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”. (QS; alBaqoroh
184 )
Kemudian Alloh menyertakan hukum kedua orang
ini dengan hukum lain yang tidak masuk didalamnya orang yang sakit dan musafir
yang telah disebutkan tadi, dimana Alloh berfirman :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Artinya : “ dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalannya (jika mereka
tidak berpuasa), membayar fidyah, yaiotu memberi makan orang miskin”. (QS;
al-Baqoroh 184 ).
3. Hukum wanita hamil dan ibu yang menyusui jika berbuka karena khawatir
membahayakan dirinya, atau anaknya, atau membahayakan dirinya dan anaknya. Pendapat yang dipilih
adalah yang mengatakan wanita hamil dan ibu yang menyusui jika tidak berpuasa
karena mengkhawatirkan anaknya saja, maka ia wajib mengqodha dan tidak membayar
fidyah.
Ringkasan pendapat ahli fiqih tentang wanita hamil dan ibu yang menyusui
1. Boleh tidak berpuasa, tetapi wajib membayar fidyah, dan tidak wajib
mengqodha, ini pendapat ibnu umar dan pengikutnya.
2. Boleh tidak berpuasa, tetapi wajib mengqodha dan tidak membayar fidyah, ini
pendapat ‘atha, abu hanifah, dan mayoritas sahabat, dan tabi’in. Dan inilah
pendapat yang dipilih oleh penulis.
3. Boleh tidak berpuasa tetapi wajib mengqodha dan membayar fidyah, ini
pendapat imam syafi’i dan imam ahmad
4. Wanita hamil wajib mengqodha dan tidak membayar fidyah. Ibu menyusui wajib
mengqhadha dan membayar fidyah. Ini pendapat imam malik.
4. Jika penduduk suatu negeri berpuasa 29 hari, lalu ada orang yang sakit
tidak berpuasa, apakah ia harus mengqadha 29 hari ataukah 30 hari ?, jika penduduk suatu
negeri berpuasa 29 hari lalu mereka berbuka karena melihat bulan syawwal,
sedangkan diantara mereka ada orang sakit yang tidak berpuasa, maka jika orang
sakit itu mengetahui jumlah hari puasa yang dilakukan oleh penduduk negeri itu,
maka ia wajib mengqadha sebanyak hari tersebut, karena qadha itu berdasarkan
hari yang ditinggalkan.
Sedangkan jika orang sakit itu tidak tahu jumlah hari
puasa penduduk negeri, maka ia berpuasa 30 hari, karena pada asalnya satu bulan
itu 30 hari, dan yang kurang dari 30
hari itu sedikit. Maka jika ia tidak tahu, ia harus menjalankan yang
asal.
5.
Hukum orang yang menunda
qadha puasa ramadhan hingga datang ramadhan berikutnya karena udzur atau lalai.
Ringkasan pendapat ulamatentang orang yang menunda qadha ramadhan sampai
datang ramadhan berikutnya.
1. Jika menunda qadha ramadhan karena alasan yang tepat, ia hanya wajib qadha
saja. Ini pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in
2. Ia wajib puasa saaat ini, dan membayar fidyah puasa yang lalu, serta tidak
wajib mengqadha. Ini adalah pendapat ibn abbas dan ibn umar.
Hukum orang yang menunda
qadha ramadhan tanpa udzur sampai datang ramadhan berikutnya
1. Menurut mayoritas sahabat dan tabi’in, ia wajib puasa saat ini, dan
mengqadha puasa yang ditinggalkan, serta memberi makan orang yang miskin setiap
hari
2. Abu hanifah dan hasan al-bashri serta orang yang mengikutinya berpendapat,
ia wajib mengqadha dan tidak membayar fidyah.
6. Hukum orang yang meninggal dunia yang masih memiliki kewajiban puasa
ramadhan, ringkasan pendapat ulama tentang orang
yang meninggal dan mempunyai tanggungan puasa ramadhan.
1. Jika meninggalnya sebelum memungkinkannya untuk qadha puasa, maka menurut
mayoritas para ulama tidak ada kewajiban apa-apa atasnya. Tetapi menurut thawus
dan qatadah, walinya wajib membayarkan fidyah unuknya.
2. Jika ia lalai mengqadha puasa, lalu ia meninggal dunia, maka menurut ahli
hadist, walinya menggantikan puasa untuknya, sedangkan menurut ibn abbas,
aisyah , ibn umar, dan imam mazhab yang empat, walinya tidak boleh menggantikan
puasa untuknya, melainkan membayarkan fidyah untuknya.
3. Menurut imam ahmad, untuk puasa nazar, walinya menggantikan puasa,
sedangkan untuk puasa ramadhan walinya membayarkan fidyah untuknya.
Pendapat yang kuat, adalah pedapat yang mengatakan bahwa
orang yang meninggal dunia dan mempunya qadha ramadhan tetapi ia lalai, maka ia
harus membayar fidyah, dan boleh menggantikannya puasa, untuk puasa nazar bukan
puasa ramadhan.
7. Hukum orang yang pingsan dan gila disaat menjalankan puasa ramadhan. Pendapat penulis adalah
orang gila tidak wajibqadha, tetapi hanya mengqadha hari-hari yang ketika ia
sembuh, jika ia tidak berpuasa pada hari-hari tersebut. Karena gila adalah
salah satu keadaan yang menghilangkan taklif.
Ø Hukum haji
1. Hukum berhaji orang yang lumpuh dan orang yangsakit serta pendapat ahli
fiqih tentang hukum menggantikan haji. Ditinjau dari segi pelaksanaannya ibadah dibagi menjadi
3 macam :
A. Ibadah fisik seperti shalat dan puasa, ibadah ini tidak melibatkan harta,
tujuan ibadah ini adalah mendekatkan diri dan tunduk kepada Alloh SWT.
B. Ibadah harta seperti zakat dan sedekah.
C. Ibadah yang melibatkan harta dan badan, seperti haji.
Bagian ibadah pertamatidak boleh digantikan karena yang dituntut
melaksanakannya adalah diri pribadi.
Ringkasan pendapat para
ahli fiqih
Kesimpulan dalam
masalah menggantikan haji untuk orang yang lumpuh, orang sakit, orang yang
sangat tua, orang yang terkena penyakit yang dapat menghalangi melaksanakan
haji sendiri adalah sebagai berikut :
1. Para ulama mazhab hanafi, syafi’i, dan hanbli berpendapat bahwa haji
hukumnya adalah wajib atas orang-orang yang telah memenuhi syarat-syarat wajib
haji, tetapi ia lemah karena suatu halangan yang membuat putus asaseperti
lumpuh atau penyakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya, atau hal
seperti itu. Mereka berpendapat bahwa ibadah haji sekalipun berupa pekerjaan
fisik dan harta, tetapi dari segi harta tetap lebih dominan karena itu boleh
digantikan , mereka memberi alasan dengan dalil-dalil khas dan ‘amiyah dan
hadist-hadist yang lainnya, yang menunjukkan bolehnya menggantikan haji orang
yang masih hidup tetapi tidak dapat melaksanakannya.
2. Para ulama mazhab maliki berpendapatbahwa ibadah haji tidak bisa
digantikan, sekalipun ibadah ini adalah pekerjaan fisik dan harta, tetapi dari
segi fisik lebih dominan, barangsiapa yang tidak mampu pergi haji sendiri maka
ia tidak wajib haji, dan tidak boleh menggantikan dengan orang lain. Karena
kewajiban haji telah gugur darinya sama sekali, dan ia dikategorikan orang yang
tidak mampu, sedangkan kemampuan itu merupakan syarat wajib haji. Karena ia
iabadah yang ketika mampu tidak dapat digantikan, maka dalam keadaan tidak
mampupun, (tidak dapat melaksanakannya sendiri) tidak dapat digantikan.
3. Para ulama berpendapat bahwa orang sakit yang dapat diharapkan
kesembuhannya, ia tidak boleh digantikan hajinya. Jika ia telah digantikan,
kewaajibannya belum gugur. Dan jika ia meninggal dunia ada perbedaan pendapat
yang sebelumnya telah disebutkan.
4. Tidak sah mengupah orang untuk melaksanakan haji menurut ulama mazhab
hanafi. Ini juga salah satu riwayat dari imam ahmad, riwayat kedua mengatakan
sah mengupah orang untuk melaksanakan haji, dan ini adalah pendapat imam
syafi’i
Sedangkan pendapat yang
paling kuat adalah pendapat mayoritas ulama, yaiotu yang mengatakan bahwa haji
dapat digantikan.
2. Syarat sah nya penggantian haji. Pendapat yang paling kuat adalah jika ia tidak mampu
melaksanakan haji untuk dirinya sendiri, maka haji tidak wajib atasnya, karena
ia tidak mampu, sedangkan orang yang tidak mampu ia tidak wajib haji, adapun
orang yang wajib melaksanakan haji itu karena dia mampu, maka penulis
berpendapattidak boleh melaksanakan haji untuk orang lainsebelum ia
melaksanakan haji untuk dirinya sendiri.
3. Hukum orang yang terhalang oleh sakit, penjelasan tentang ihshar dan hashr
menurut bahasa, perbedaan pendapat ulama mengenai ihshar dalam haji dan umroh.
Menurut bahasa ihshar berarti terhalang,
Ringkasan pendapat ulama mengenai ihshar :
a. Halangan yang dimaksud oleh ayat 5 dalam surat at-taubah dan al-Baqoroh :
273 itu adalah halangan karena musuh bukan karena sakit. Barangsiapa yang
dihalangi musuh dan tercegah untuk melanjutkan ibadah haji dan umroh, maka ia
boleh bertahallul, baik musuh itu orang islam atau orang kafir. Orang yang
terhalang karena sakit dan sejenisnya lalu tercegah untuk melaksanakan haji dan
umroh, maka ia tidak boleh tahallul sampai thawaf dan sa’i. Dan ia wajib
mengulang haji tahun depan.
b. Yang dimaksud halangan pada kedua ayat diatasmeliputi semua rintangan yang
menghalangi sampainya seseorang ke tanah suci, baik berupa penyakit atau
musuhatau lainnya. Orang yang terhalang dengan penyakit dan sejenisnyaatau
terhalang musuh untuk melanjutkan haji atau umroh, maka ia boleh bertahallul.
Sedangkan pendapat yang paling kuat menurut penulis
adalah pendapat pertama sedangkan pendapat kedua dengan alasan yang juga kuat
tetapi memungkinkan untuk menerima takwil .
4. Hukum menetukan syarat dalam haji, hukum orang yang menderita penyakit pada
waktu ihram haji atau umroh dan tidak menetukan syarat tahallul. Boleh menetukan syarat
dalam haji karena sakit dan lainnya, misalnya seseorang mengatakan, “ jika ada
sesuatu yang menghalangi saya, maka saya akan bertahallul dimana saya
terhalang.” Maka jika ia terhalang maka ia boleh bertahallul ditempat ia
terhalang tersebut dan tidak ada kewajiban apa-apa atasnya. Ini adalah pendapat
ulama hanbali dan salah satu dari dua pendapat asy-syafi’i.
5. Hukum datang malam hari dari muzdalifah untuk melontar dan segera melakukan
thawaf karena takut berdesakan dan karena terganggu bagi orang-orang yang
mempunyai uzur. Bermalam di muzdalifah adalah salah satu kewajiban haji, barangsiapa yang
meninggalkannya maka wajib membayar DAM karena nabi bermalam di mzdalifah. Haji
seseorang tidak batal jika hanya lewat dimuzdalifah pada malam hari dan tidak
bermalam disana. Karena nabi bersabda : “haji adalah wuquf diarafah “. Walaupun
demikian ia telah meninggalkan kewajiban, sehingga wajib membayar dam.
Nabi shalallohu ‘alaihi wa sallam, mengizinkan bagi
mereka yang mempunya uzur, seperti orang sakit, orang yang lemah, perempuan,
dan anak-anak untuk datang setelah lewat tengah malam, kemudian melontar jumroh
sebelum orang-orang datang setelah shalat subuh atau sebelumnya.
6. Hukum menggantikan melontar untuk orang sakit. Orang yang mempunyai
uzur yang menghalanginya melontar sendiri seperti sakit dan lainnya, boleh
mencari ganti orang yang melontarkan untuknya, baik penyakit itu ada harapan
untuk sembuh atau tidak. Ini adalah pendapat jumhur para ulama.
7. Hukum thawaf untuk orang yang memiliki tunggangan ( kendaraan ) dan orang
yang ditandu/dipanggul karena uzur seperti sakit. Orang yang sakit dan
semacamnya boleh melakukan thawaf dengan dipandu atau dengan menaiki tunggangan
atau ( kendaraan ).
8.
Fidyah karena adanya
gangguan. Barangsiapa yang berat penyakitnya atau mengalami gangguan di kepalanya
maka ia boleh berobat dan menghilangkan gangguan darinya dan harus membayar
fidyah.[10]
9.
Hukum thawaf wada’ bagi
orang sakit. Hadist-hadist yang ada menunjukkan denga jelas atas wajibnya melakukan
thawaf wada bagi selain wanita yang sedang haidh dan nifas.
Wallohu a’lam bis
shawab...
[1] Firman Alloh dalam surat Al-hajj : 78,
Al-Baqroh :185, Al-Maidah : 6
[2] Jika ingin penjelasan secara terperinci,
silahkan merujuk kebuku.
[3] Dalilnya surat Al-aqoroh : 267
[4] Dalilnya surat Al-maidah : 6
[5] Fath al-bari syarh shahih al-bukhari, juz
1. Hal 87.
[6] Lihat tafsir al-qurthubi, juz 5 hal 216.
[7] Lihat lisanul arab juz 9. Hal 98.
[8] Dalil-dalilnya bisa dirujuk di buku hal
48.
[9] Al-Baqoroh 185
[10] Hal ini berdasarkan firman Alloh dalam
surat al-Baqoroh : 196
0 Comments:
Posting Komentar