(Dr. Nurcholis Madjid)
Oleh : Fitra Hudaiya
Pintu Tauhid dan Iman
Islam artinya pasrah sepenuhnya kepada Allah, sikap yang menjadi inti
ajaran agama yang di sisi Allah. Karena itu semua agama yang benar disebut
Islam.
Agama
semua nabi adalah semua sama dan satu, yaitu islam, meskipun syari’atnya
berbeda-beda sesuai dengan zaman dan tempat khusus masing-masing nabi itu, maka
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya kami golongan para nabi, agama kami adalah satu (sama).”
Dalam
kitab suci dapat diketauhi dengan pasti pasti bahwa ternyata tidak cukup
seseorang disebut beriman hanya karena dia “percaya” akan adanya Allah atau
tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Tetapi harus juga mempercayai Allah dalam kualitas-Nya sebagai stu-satunya
yang bersifat keilahian atau ketuhanan.
Sikap
terbuka merupakan bagian dari iman. Sebab seseorang, seperti yang ternyata
dalam firman Allah Ta’ala yang berkenaan dengan sikap orang kafir yang mana
mereka mengatakan “hati kami telah tertutup”
jika didatangkan kebenaran kepada mereka. Tidak mungkin menerima
kebenaran jika ia tidak terbuka, karena itu difirmankan bahwa sikap tertutup,
yang diibaratkan dada yang sempit dan sesak, adalah indikasi kesesatan.
Juga
diterangkan dalam kitab suci bahwa salah satu kualitas kaum beriman adalah
bahwa mereka itu “Dibimbing ke arah tutur kata yang baik, serta dibimbing ke
arah jalan (Allah) yang maha terpuji” (QS. Al-hajj/22:24).
Iman
menghasilkan harapan. Maka tidak adanya harapan adalah indikasi tidak adanya
iman. Orang yang tidak berpengharapan adalah orang yang tidak menaruh
kepercayaan kepada Allah, atau dibalik, orang yang tidak menaruh kepercayaan
kepada Allah akan tidak mempunyai harapan kepadaNya. Maka kita diperingatkan
dalam Kitab Suci, melalui lisan nabi Ya’qub (Isra’il) as ketika dia berpesan
kepada anak-anaknya dalam mencari Yusuf dan Bunyamin di Mesir: “Janganlah
kamu berputus asa dari kasih Allah, sebab sesungguhnya tidaklah berputus asa
dari kasih Allah kecuali kaum yang kafir” (QS. Yusuf:28).
Berkenaan dengan takdir, percaya dengan takdir merupakan salah satu dari
rukun iman yang enam. Pengertian takdir
yang paling mendasar ialah dalam
kaitannya dengan suatu ketentuan Ilahi yang tidak dapat kita lawan. Kita semua
dikuasai oleh takdir tanpa mampu mengubahnya dan tanpa ada pilihan lain, karena
takdir itu adalah ketentuan dari tuhan yang maha kuasa. Maka kita harus
menerimanya saja yang baik maupun yang buruk.
Barang
kali betul juga bahwa kepercayaan kepada takdir dapat menghasilkan sikap fatalis.
Tetapi mungkin kita harus sempat mempersoalkan benar tidaknya bentuk dan
cara serta pengertian percaya kepada
takdir itu pada sebagian dari kita. Apalagi kenyataannya percaya kepada takdir
itu merupakan salah satu rukun iman yang enam, khususnya untuk kalangan muslim
Sunni (untuk kalangan muslim Syi’i percaya kepada takdir tidak dimasukkan ke
dalam rukun Iman sementara mereka memasukkan hal-hal lain yang tidak dikenal
oleh kalangan Sunni sebagai rukun iman seperti kewajiban berjihad dan
menegakkan keadilan).
Tentang
kiblat dan maknanya , Ibnu Taimiyyah menyebutkan sebuah Hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam: “Al-Masjid
(al-Haram) kiblat Makkah, Makkah kiblat tanah suci (sekelilingnya), dan tanah
suci kiblat bumi.” Ibnu Taimiyyah malah mencap sebagai bid’ah penggunaan
ilmu bumi matematis untuk menentukan arah kiblat (lihat Ibn Taymiyyah, kitab
al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin, hh 259-260).
Dengan
keterangan Ibn Taymiyyah hanya hendak menegaskan bahwa kita tidak dituntut
untuk mengetahui persis letak kiblat itu, cukup dengan kira-kira saja. Sebab
yang penting adalah makna di balik itu yaitu pemusatan pandangan dan tujuan
hidup kepada ridha Allah, melalui perbuatan baik, amal saleh, budi pekerti
luhur atau akhlak karimah.
Sebagaimana
firman Allah : “Bukanlah kebajikan
itu bahwa kamu menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat……. Dst.” (QS.al-Baqarah: 177) dan Firman-Nya : “bagi Allah lah timur dan barat, maka
kemana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah” (QS. Al-Baqarah: 115).
Pintu Sejarah dan Peradaban
Sejarah sebagai
laboratorium dan laboratorium bagi ilmu-ilmu mengenai kehidupan sosial manusia
ialah sejarah hidup sosial manusia sejarah hidup sosial manusia itu sendiri.
Dalam sejarah itulah seluruh variabel kehidupan sosial manusia tercakup dan
dapat diketemukan. Karena itulah memerintahkan kita semua untuk memperhatikan
dan menarik pelajaran dari sejarah masa lalu. Ditegaskan pula bahwa hukum Allah
(sunnatullah) dalam hidup manusia itu tidak akan berubah, jadi bersipat
pasti (lihat QS. Al-Ahzab: 38 dan
62; Fathir:43; dan Fath: 23). Tinggal
bagaimana kita mampu mengidentifikasi dan memahaminya dari sejarah. Kemudian
kita membuat kesimpulan-kesimpulan umum atau generalisasi tentang hukum yang
menguasai hidup sosial manusia itu. Jadi ungkapan sehari-sehari “belajar dari
sejarah” adalah suatu truisme yang amat penting. Maka biasanya permulaan
hancurnya seseorang, suatu kelompok atau bangsa ialah kalau yang bersanngkutan
itu tidak lagi mau belajar dari sejarah.
Nabi Muhammad dan Jengis khan. Antara
kedua tokoh yang tidak pernah terlupakan dalam sejarah umat manusia ini sangat
sedikit sekali terdapat kecocokan. Yang sering terjadi malah pertentangan,
sebab yang satu (Nabi) adalah pembawa kebaikan, kebenaran dan rahmat; sedangkan
yang satunya lagi (jengis khan) adalah pembawa bencana kepalsuan dan azab.
Namun ada satu titik persamaan
antara kedua tokoh legendaris itu, yaitu keahlian dalam strategi dan taktik
peperangan. Tetapi ada suatu titik amat kontras antara kedua maha jendral itu,
yaitu kalau kita sekarang mencoba melihat dampak, bekas atauwarisan mereka.
Isa
al-Masih tentang “al-Ahmaq”. Surat kabar Kayhan al-Arabi (Teheran),
23 Desember 1989, dalam rubrik “budaya” (“tsaqafah”) di halaman 15 memuat
tulisan menarik tentang sabda Nabi Isa al-Masih mengenai orang dungu spesial
itu. Disebutkan oleh kayhan al-Araby demikian:
Dari
Ali Ibn Musa al-Ridha’ (salah seorang imam kaum syi’ah), bersabda al-Masih as:
“sesungguhnya aku telah mengobati orang-orang sakit, dan aku sembuhkan mereka
dengan perkenan Allah; juga aku sembuhkan orang buta dan orang berpenyakit
lepra dengan perkenan Allah; juga aku mengobati orang-orang mati dan aku
hidupkan kembali mereka dengan perkenan Allah; kemudian aku obati orang dungu
namun aku tidak mampu menyembuhkannya!” maka beliau pun ditanya, “Wahai ruh
Allah, siapa yang dungu itu?” Beliau menjawab, “yaitu orang yang kagum kepada pendapatnya
sendiri dan dirinya sendirinya, yang memandang semua keunggulan ada padanya dan
tidak melihat beban (cacat) baginya; yang memastikan semua kebenaran semua
untuk dirinya sendiri. Itulah orang-orang dungu yang tidak ada jalan untuk
mengobatinya.”
Pintu Etik dan Moral
Dengki
atau Hasad pemakan segala kebaikan. Dalam Mushhaf kitab suci al-Quran surah
kedua terakhir memuat perintah kepada nabi saw agar beliau memohon kepada tuhan
dari cuaca pagi (Rabbil falaq) supaya dilindungi dari kejahatan seorang
pendengki. Ini meneujukkan betapa gawat dan berbahayanya kedengkian itu.
Nabi
saw bersabda dalam sebuah hadits: “jauhilah olehmu semua kedengkian, sebab
kedengkian itu memakan segala kebaikan, sama seperti api memakan kayu bakar
yang kering” (lihat Bulughul maram, hadits No. 1507).
Pengetahuan
adalah kekuatan. Dalam kitab suci ada suatu tantangan dari tuhan yang
ditujukan kepada seluruh makhluk hidup yang berakal, baik yang berwujud “kasar”
yaitu manusia, maupun yang berwujud “halus” yaitu jin. Tantangan itu ialah firman Allah: “Wahai masyarakat jin dan
manusia! Kalau kamu mampu menembus petala sekalian langit dan bumi, maka
tembuslah! Namun kamu tidak akan dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan”
(QS. Ar-Rahman: 33)
Pada
zaman modern ini kiranya tidak terlalu sulit memahami firman tantagan itu,
karena manusia telah membuktikan bahwa mereka telah mampu menembus petala
langit, baik yang berorang (manned)
maupun yang tidak berorang (unmanned). Program-program ruang angkasa
negara-negara maju, khususnya dua negara adikuasa Amerika dan Rusia, dapat
disebut sebagai program “menembus batas-batas langit dan bumi” seperti yang
dalam firman tantangan itu. Salah satu program berorang yang sukses ialah
mendaratnya Neil Amstrong di rembulan sekitar dua dasawarsa yang lalu.
Sedangkan yang tidak berorang antara lain berupa proyek-proyek mengirimkan
satelit ke batas-batas tata surya yang sampai sekarang berlangsung dan telah
mulai mengirimkan gambar-gambar keadaan planet tertentu sebagai sumber
informasi yang sangat bermanfaat bagi manusia.
Semua
dimungkan karena adanya “kekuatan” atau sulthan pada Amerika dan Rusia
(kemudian disusul oleh Jepang dan Perancis). Dan kekuatan itu tidak lain adalah
ilmu pengetahuan itu yang memungkinkan diluncurkannya satelit-satelit.
Pintu Pluralisme dan Kemanusiaan
Kebebasan Beragama. Setiap khatib dan juru dakwah dapat
dipastikan telah mengetahui adanya
prinsip tidak boleh ada paksaan dalam agama. Sebuah firman Allah yang
amat sering dikutip berkenaan dengan ini ialah : “tidak boleh ada paksaan
dalam agama. Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dari kesesatan. Barang
siapa menolak tirani dan percaya kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang
dengan tali yang yang kukuh, yang tidak akan lepas. Allah Maha Mendengar dan
Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 256).
Jadi tidak dibolehkan memaksakan suatu agama ialah karena manusia
dianggap sudah mampu dan harus diberi kebebasan untuk membedakan dan memilih
sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Dengan kata lain, manusia kini
telah dianggap dewasa sehingga dapat menentukan diri sendiri jalan hidupnya
yang benar, dan tidak perlu lagi dipaksa-paksa seperti orang yang belum dewasa.
Oleh karena itu tuhan telah “percaya” kepada kemampuan manusia itu, maka
dia tidak lagi mengirimkan Utusan atau Rasul untuk mengajari mereka tentang
kebenaran. Deretan para nabi dan rasul telah ditutup dengan kedatangan nabi
Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai rasul penutup, nabi
Muhammad membawa dasar-dasar pokok ajaran yang terus menerus dapat dikembangkan
untuk segala zaman dan tempat. Maka sekarang terserah kepada manusia yang telah
“Dewasa” itu untuk secara kreatif
menangkap pesan dalam pokok ajaran nabi penutup itu dan mempungsikannya dalam
kehidupan mereka yang nyata.
Pesan Natal Presiden Rafsanjani. Sebuah
berita terlambat namun amat menarik dari surat kabar Iran Kayhan al-Araby (Teheran,
6 januari 1990) menyebutkan tentang pesan natal presiden Iran, Hasymi
Rafsanjani kepada umat kristen seluruh dunia dan kepada umat kristen Iran
sendiri. Dia mengemukakan beberapa hal yang patut sekali kita ikut merenungkan
maknanya karena terkait erat dengan masalah umat manusai saat ini.
Dalam menyambut hari Natal itu Rafsanjani Antara lain mengatakan : Masa ini, ketika tirai besi sistem
kepalsuan komunisme mulai runtuh satu persatu, dan dunia barat maupun timur
mulai merasakn sebagian hukuman tuhan berupa buah pahit penyelewengan moral
serta azab atas hilangnya cita-cita kemanusiaan sejati, maka jalan satu-satunya
agar selamat dari berbagai kesengsaraan dan penderitaan batin ialah membina
hubungan dengan para pribadi suci dan berpegang dengan tali yang kukuh dari
para Nabi dan para Wali. Maka sungguh sepatutnya bagi kaum bebas unttuk
berjuang menegakkan keadilan dan mencari kekuatan dalam ajran-ajaran yang
menjamin keselamatan, yang berasal dari agama-agama ketuhanan untuk melapangkan
jalan menuju kebahagiaan abdi. Dan hendaknya jangan ada lagi kesempatan bagi
munculnya materialisme lain sebagai ganti materialisme marxis yang bertentangan
dengan kebahagiaan hakiki umat manusia itu. Dan sebagaimana para Nabi saling
mendukung kebenaran satu sama lain, maka penganut semua agama samawi, khususnya
para warga negara kita yang beragama kristen, mempunyai hak untuk dimuliakan,
dihormati dan didukung oleh pemerintah Islam (Iran). Kami berdo’a kepada Allah
yang maha tinggi dan maha kuasa untuk kebahagiaan dan keselamtan kaum Tauhid
(al-Muwahhidun, para penganut Monotheisme) dari sembua hamba Allah, dengan
harapan semoga tahun baru ini menjadi tahun kebaikan, barkah, kemakmuran dan
kesentosaan bagi selruh umat kristen di dunia.
Begitulah kutipan dari pesan natal seorang kepala negara Islam. Alangkah
tepatnya seruannya Rafsanjani agar semua mereka yang mengaku sebagai penganut
agama yang benar bersatu melawan ke-zhalim-an dan penindasan, tanpa
memandang siapa yang tertindas itu dan siapa pula yang menindas. Sebab
masalahnya ialah prinsip menegakkan keadilan yang tidak bisa ditawar-tawar. Dan
jika seruan itu bisa dibenarkan dalam kerangaka hubungan antara hubungan antara
berbagai agama, maka lebih-lebih lagi harus diwujudkan dalam kerangka hubungan
intra-Isalm, yakni, dalam kalangan kaum muslim sendiri.
Seperti digambarkan Rafsanjani sendiri tentang tirai besi yang runtuh
satu persatu, nampaknya tidak terlalu jauh saatnya kita akan menyaksikan
robohnya satu persatu sistem-sistem Monotolik, otoriter dan totaliter pemerintahan
di banyak negara Islam. Kita semua sebaiknya mulai belajar berdemokrasi
sebagai sikap hidup.
Relativisme Dalam Beragama. Istilah theologis di sini tidak digunakan
dalam pengertian khususnya, sebagai ilmu kalam (theologi skolastik), tetapi sebagai
penalaran tentang ajaran-ajaran agama secara keseluruhan. Hal pertama yang
memerlukan penegasan ialah bahwa theologi sebagai ilmu (misalnya, tercermin
dalam istilah “ilmu kalam”, dapat dilihat sebagai hasil dialog antara pemeluk
Islam dengan perkembangan dan tempat dan karenanya, merupakan wujud warisan
tantangan dan jawaban suatu bentuk perubahan sosial dalam sejarah.
Itu berarti bahwa terlebih dahulu harus disadari tentang kerelatifan
suatu pandangan theologis. Pandangan seseorang tentang pemahamannya mengenai
suatu agama tentu diakui oleh yang bersangkutan sebagai yang paling tepat dan
paling benar mengenai agama itu. Tetapi,
sebagai entitas mengenai entitas yang lain, maka adalah tak masuk akal (Absurd)
untuk melihat kedua-duanya sebagai identik dan bisa saling tukar (interchangeable).
Jadi, pemahaman seorang atau kelompok tentang suatu agama bukanlah dengan
sendirinya senilai dengan agama itu sendiri. Ini lebih-lebih lagi benar jika
suatu agama diyakini hanya datang dari tuhan (wahyu, “agama samawi”) dan
bukannya hasil akhir suatu proses historis dan sosiologis (dengan istilah
“agama wahyu” atau “agama samawi” maka wewenang menetapkan agama atau tasyri’
[seharusnnya!] hanya ada pada tuhan atau berasal “dari langit”,” sementara yang
datang dari manusia atau dari arah bumi [juga seharusnya!] dipandang sebagai
relatif belaka).
Pintu Sosial dan Politik
Berbagai
Pintu Menuju Yusuf. Ketika nabi Ya’qub melepas anak-anaknya pergi ke Mesir,
mencari Yusuf, dia berpesan, “Wahai anak-anakku, kamu janganlah masuk dari satu
pintu, melaikan masuklah dari berbagai pintu yang berbeda” (QS. Yusuf : 67).
Nabi Ya’qub yang bergelar Isra’il (artinya, hamba Allah) adalah lambang jiwa
kebapakan yang penuh kesabaran dan tawakkal karena yakin setiap masalah tentu
akan diberi tuhan jalan keluarnya. Dialah nenek moyang bangsa yahudi, yang juga
disebut Bani Isra’il (anak turun Isra’il), yang bangsa itu banyak tampil
nabi-nabi dan rasul-rasul.
Sedangkan
nabi Yusuf adalah personifikasi keadilan dan kemakmuran berkat kemampuannya
memandang jauh ke depan. Dia juga melambangkan ketulusan yang tidak sedikit pun
menyimpan rasa dendam kepada saudara-saudaranya yang dahulu pernah
menyia-nyiakannya. Dia adalah simbol moralitas yang tinggi, yang tidak mempan
godaan bangsawan cantik Zulaikha. Dia adalah juga wujud dari kebenaran.
Nah,
siapa tahu perkembangan sosial-politik tanah air kita menjelang pemilu sekarang
ini mencerminkan makna dan semangat di balik metafor-metafor dan
lambang-lambang di atas. Pertama, ada gejala yang sepintas lalu seperti
menunjukkan bahwa orang mulai bosan dengan pemilu. Barangkali yang benar
bukanlah gejala bosan melainkan cermin dari sikap jiwa yang dapat disebut
“keraguan sehat” (health scepticism) akibat daya kritis yang semakin
meningkat.
Gejala
“keraguan sehat” itu merupakan indikasi bagi gejala lain yang lebih sehat dan
lebih penting lagi, yaitu mulai
tumbuhnya kemampuan orang banyak melihat alternatif-alternatif. Artinya,
orang tidak lagi melihat sesuatu sebagai satu-satunya yang ada dan atau
satu-satunya pilihan. Maka tanggapan kepada suatu fakta tidak lagi dalam
kerangka serba mutlak melainkan nisbi belaka.
0 Comments:
Posting Komentar