Rabu, 01 Oktober 2014

Jalan-Jalan Menuju Tuhan


Jalan-Jalan Menuju Tuhan
(Dr. Nurcholis Madjid)
Oleh : Fitra Hudaiya

Pintu Tauhid dan Iman
            Islam artinya pasrah sepenuhnya kepada Allah, sikap yang menjadi inti ajaran agama yang di sisi Allah. Karena itu semua agama yang benar disebut Islam.
            Agama semua nabi adalah semua sama dan satu, yaitu islam, meskipun syari’atnya berbeda-beda sesuai dengan zaman dan tempat khusus masing-masing nabi itu, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam  bersabda :  Sesungguhnya kami golongan para nabi, agama kami adalah satu (sama).
            Dalam kitab suci dapat diketauhi dengan pasti pasti bahwa ternyata tidak cukup seseorang disebut beriman hanya karena dia “percaya” akan adanya Allah atau tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Tetapi harus juga mempercayai  Allah dalam kualitas-Nya sebagai stu-satunya yang bersifat keilahian atau ketuhanan.
            Sikap terbuka merupakan bagian dari iman. Sebab seseorang, seperti yang ternyata dalam firman Allah Ta’ala yang berkenaan dengan sikap orang kafir yang mana mereka mengatakan “hati kami telah tertutup”  jika didatangkan kebenaran kepada mereka. Tidak mungkin menerima kebenaran jika ia tidak terbuka, karena itu difirmankan bahwa sikap tertutup, yang diibaratkan dada yang sempit dan sesak, adalah indikasi kesesatan.
            Juga diterangkan dalam kitab suci bahwa salah satu kualitas kaum beriman adalah bahwa mereka itu “Dibimbing ke arah tutur kata yang baik, serta dibimbing ke arah jalan (Allah) yang maha terpuji”  (QS. Al-hajj/22:24).


            Iman menghasilkan harapan. Maka tidak adanya harapan adalah indikasi tidak adanya iman. Orang yang tidak berpengharapan adalah orang yang tidak menaruh kepercayaan kepada Allah, atau dibalik, orang yang tidak menaruh kepercayaan kepada Allah akan tidak mempunyai harapan kepadaNya. Maka kita diperingatkan dalam Kitab Suci, melalui lisan nabi Ya’qub (Isra’il) as ketika dia berpesan kepada anak-anaknya dalam mencari Yusuf dan Bunyamin di Mesir: “Janganlah kamu berputus asa dari kasih Allah, sebab sesungguhnya tidaklah berputus asa dari kasih Allah kecuali kaum yang kafir”  (QS. Yusuf:28).
            Berkenaan dengan takdir, percaya dengan takdir merupakan salah satu dari rukun iman yang enam.  Pengertian takdir yang paling mendasar  ialah dalam kaitannya dengan suatu ketentuan Ilahi yang tidak dapat kita lawan. Kita semua dikuasai oleh takdir tanpa mampu mengubahnya dan tanpa ada pilihan lain, karena takdir itu adalah ketentuan dari tuhan yang maha kuasa. Maka kita harus menerimanya saja yang baik maupun yang buruk.
            Barang kali betul juga bahwa kepercayaan kepada takdir dapat menghasilkan sikap fatalis. Tetapi mungkin kita harus sempat mempersoalkan benar tidaknya bentuk dan cara  serta pengertian percaya kepada takdir itu pada sebagian dari kita. Apalagi kenyataannya percaya kepada takdir itu merupakan salah satu rukun iman yang enam, khususnya untuk kalangan muslim Sunni (untuk kalangan muslim Syi’i percaya kepada takdir tidak dimasukkan ke dalam rukun Iman sementara mereka memasukkan hal-hal lain yang tidak dikenal oleh kalangan Sunni sebagai rukun iman seperti kewajiban berjihad dan menegakkan keadilan).
            Tentang kiblat dan maknanya , Ibnu Taimiyyah menyebutkan sebuah Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:  “Al-Masjid (al-Haram) kiblat Makkah, Makkah kiblat tanah suci (sekelilingnya), dan tanah suci kiblat bumi.” Ibnu Taimiyyah malah mencap sebagai bid’ah penggunaan ilmu bumi matematis untuk menentukan arah kiblat (lihat Ibn Taymiyyah, kitab al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin, hh 259-260).
            Dengan keterangan Ibn Taymiyyah hanya hendak menegaskan bahwa kita tidak dituntut untuk mengetahui persis letak kiblat itu, cukup dengan kira-kira saja. Sebab yang penting adalah makna di balik itu yaitu pemusatan pandangan dan tujuan hidup kepada ridha Allah, melalui perbuatan baik, amal saleh, budi pekerti luhur atau akhlak karimah.
            Sebagaimana firman Allah :  “Bukanlah kebajikan itu bahwa kamu menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat……. Dst.”  (QS.al-Baqarah: 177)  dan Firman-Nya :  “bagi Allah lah timur dan barat, maka kemana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah”  (QS. Al-Baqarah: 115).


Pintu Sejarah dan Peradaban
                Sejarah sebagai laboratorium dan laboratorium bagi ilmu-ilmu mengenai kehidupan sosial manusia ialah sejarah hidup sosial manusia sejarah hidup sosial manusia itu sendiri. Dalam sejarah itulah seluruh variabel kehidupan sosial manusia tercakup dan dapat diketemukan. Karena itulah memerintahkan kita semua untuk memperhatikan dan menarik pelajaran dari sejarah masa lalu. Ditegaskan pula bahwa hukum Allah (sunnatullah) dalam hidup manusia itu tidak akan berubah, jadi bersipat pasti  (lihat QS. Al-Ahzab: 38 dan 62;  Fathir:43; dan Fath: 23). Tinggal bagaimana kita mampu mengidentifikasi dan memahaminya dari sejarah. Kemudian kita membuat kesimpulan-kesimpulan umum atau generalisasi tentang hukum yang menguasai hidup sosial manusia itu. Jadi ungkapan sehari-sehari “belajar dari sejarah” adalah suatu truisme yang amat penting. Maka biasanya permulaan hancurnya seseorang, suatu kelompok atau bangsa ialah kalau yang bersanngkutan itu tidak lagi mau belajar dari sejarah.
            Nabi Muhammad dan Jengis khan. Antara kedua tokoh yang tidak pernah terlupakan dalam sejarah umat manusia ini sangat sedikit sekali terdapat kecocokan. Yang sering terjadi malah pertentangan, sebab yang satu (Nabi) adalah pembawa kebaikan, kebenaran dan rahmat; sedangkan yang satunya lagi (jengis khan) adalah pembawa bencana kepalsuan dan azab.
            Namun ada satu titik persamaan antara kedua tokoh legendaris itu, yaitu keahlian dalam strategi dan taktik peperangan. Tetapi ada suatu titik amat kontras antara kedua maha jendral itu, yaitu kalau kita sekarang mencoba melihat dampak, bekas atauwarisan mereka.
            Isa al-Masih tentang “al-Ahmaq”. Surat kabar Kayhan al-Arabi (Teheran), 23 Desember 1989, dalam rubrik “budaya” (“tsaqafah”) di halaman 15 memuat tulisan menarik tentang sabda Nabi Isa al-Masih mengenai orang dungu spesial itu. Disebutkan oleh kayhan al-Araby demikian:
            Dari Ali Ibn Musa al-Ridha’ (salah seorang imam kaum syi’ah), bersabda al-Masih as: “sesungguhnya aku telah mengobati orang-orang sakit, dan aku sembuhkan mereka dengan perkenan Allah; juga aku sembuhkan orang buta dan orang berpenyakit lepra dengan perkenan Allah; juga aku mengobati orang-orang mati dan aku hidupkan kembali mereka dengan perkenan Allah; kemudian aku obati orang dungu namun aku tidak mampu menyembuhkannya!” maka beliau pun ditanya, “Wahai ruh Allah, siapa yang dungu itu?” Beliau menjawab, “yaitu orang yang kagum kepada pendapatnya sendiri dan dirinya sendirinya, yang memandang semua keunggulan ada padanya dan tidak melihat beban (cacat) baginya; yang memastikan semua kebenaran semua untuk dirinya sendiri. Itulah orang-orang dungu yang tidak ada jalan untuk mengobatinya.”


Pintu Etik dan Moral
            Dengki atau Hasad pemakan segala kebaikan. Dalam Mushhaf kitab suci al-Quran surah kedua terakhir memuat perintah kepada nabi saw agar beliau memohon kepada tuhan dari cuaca pagi (Rabbil falaq) supaya dilindungi dari kejahatan seorang pendengki. Ini meneujukkan betapa gawat dan berbahayanya kedengkian itu.
            Nabi saw bersabda dalam sebuah hadits: “jauhilah olehmu semua kedengkian, sebab kedengkian itu memakan segala kebaikan, sama seperti api memakan kayu bakar yang kering” (lihat Bulughul maram, hadits No. 1507).
            Pengetahuan adalah kekuatan. Dalam kitab suci ada suatu tantangan dari tuhan yang ditujukan kepada seluruh makhluk hidup yang berakal, baik yang berwujud “kasar” yaitu manusia, maupun yang berwujud “halus” yaitu jin. Tantangan itu ialah  firman Allah: “Wahai masyarakat jin dan manusia! Kalau kamu mampu menembus petala sekalian langit dan bumi, maka tembuslah! Namun kamu tidak akan dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan” (QS. Ar-Rahman: 33)
            Pada zaman modern ini kiranya tidak terlalu sulit memahami firman tantagan itu, karena manusia telah membuktikan bahwa mereka telah mampu menembus petala langit, baik yang berorang (manned)  maupun yang tidak berorang (unmanned). Program-program ruang angkasa negara-negara maju, khususnya dua negara adikuasa Amerika dan Rusia, dapat disebut sebagai program “menembus batas-batas langit dan bumi” seperti yang dalam firman tantangan itu. Salah satu program berorang yang sukses ialah mendaratnya Neil Amstrong di rembulan sekitar dua dasawarsa yang lalu. Sedangkan yang tidak berorang antara lain berupa proyek-proyek mengirimkan satelit ke batas-batas tata surya yang sampai sekarang berlangsung dan telah mulai mengirimkan gambar-gambar keadaan planet tertentu sebagai sumber informasi yang sangat bermanfaat bagi manusia.
            Semua dimungkan karena adanya “kekuatan” atau sulthan pada Amerika dan Rusia (kemudian disusul oleh Jepang dan Perancis). Dan kekuatan itu tidak lain adalah ilmu pengetahuan itu yang memungkinkan diluncurkannya satelit-satelit.

Pintu Pluralisme dan Kemanusiaan
Kebebasan Beragama. Setiap khatib dan juru dakwah dapat dipastikan telah mengetahui adanya  prinsip tidak boleh ada paksaan dalam agama. Sebuah firman Allah yang amat sering dikutip berkenaan dengan ini ialah : “tidak boleh ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dari kesesatan. Barang siapa menolak tirani dan percaya kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang dengan tali yang yang kukuh, yang tidak akan lepas. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 256).
Jadi tidak dibolehkan memaksakan suatu agama ialah karena manusia dianggap sudah mampu dan harus diberi kebebasan untuk membedakan dan memilih sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Dengan kata lain, manusia kini telah dianggap dewasa sehingga dapat menentukan diri sendiri jalan hidupnya yang benar, dan tidak perlu lagi dipaksa-paksa seperti orang yang belum dewasa.
Oleh karena itu tuhan telah “percaya” kepada kemampuan manusia itu, maka dia tidak lagi mengirimkan Utusan atau Rasul untuk mengajari mereka tentang kebenaran. Deretan para nabi dan rasul telah ditutup dengan kedatangan nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai rasul penutup, nabi Muhammad membawa dasar-dasar pokok ajaran yang terus menerus dapat dikembangkan untuk segala zaman dan tempat. Maka sekarang terserah kepada manusia yang telah “Dewasa” itu untuk secara  kreatif menangkap pesan dalam pokok ajaran nabi penutup itu dan mempungsikannya dalam kehidupan mereka yang nyata.

Pesan Natal Presiden Rafsanjani. Sebuah berita terlambat namun amat menarik dari surat kabar Iran Kayhan al-Araby (Teheran, 6 januari 1990) menyebutkan tentang pesan natal presiden Iran, Hasymi Rafsanjani kepada umat kristen seluruh dunia dan kepada umat kristen Iran sendiri. Dia mengemukakan beberapa hal yang patut sekali kita ikut merenungkan maknanya karena terkait erat dengan masalah umat manusai saat ini.
Dalam menyambut hari Natal itu Rafsanjani Antara lain mengatakan :  Masa ini, ketika tirai besi sistem kepalsuan komunisme mulai runtuh satu persatu, dan dunia barat maupun timur mulai merasakn sebagian hukuman tuhan berupa buah pahit penyelewengan moral serta azab atas hilangnya cita-cita kemanusiaan sejati, maka jalan satu-satunya agar selamat dari berbagai kesengsaraan dan penderitaan batin ialah membina hubungan dengan para pribadi suci dan berpegang dengan tali yang kukuh dari para Nabi dan para Wali. Maka sungguh sepatutnya bagi kaum bebas unttuk berjuang menegakkan keadilan dan mencari kekuatan dalam ajran-ajaran yang menjamin keselamatan, yang berasal dari agama-agama ketuhanan untuk melapangkan jalan menuju kebahagiaan abdi. Dan hendaknya jangan ada lagi kesempatan bagi munculnya materialisme lain sebagai ganti materialisme marxis yang bertentangan dengan kebahagiaan hakiki umat manusia itu. Dan sebagaimana para Nabi saling mendukung kebenaran satu sama lain, maka penganut semua agama samawi, khususnya para warga negara kita yang beragama kristen, mempunyai hak untuk dimuliakan, dihormati dan didukung oleh pemerintah Islam (Iran). Kami berdo’a kepada Allah yang maha tinggi dan maha kuasa untuk kebahagiaan dan keselamtan kaum Tauhid (al-Muwahhidun, para penganut Monotheisme) dari sembua hamba Allah, dengan harapan semoga tahun baru ini menjadi tahun kebaikan, barkah, kemakmuran dan kesentosaan bagi selruh umat kristen di dunia.
Begitulah kutipan dari pesan natal seorang kepala negara Islam. Alangkah tepatnya seruannya Rafsanjani agar semua mereka yang mengaku sebagai penganut agama yang benar bersatu melawan ke-zhalim-an dan penindasan, tanpa memandang siapa yang tertindas itu dan siapa pula yang menindas. Sebab masalahnya ialah prinsip menegakkan keadilan yang tidak bisa ditawar-tawar. Dan jika seruan itu bisa dibenarkan dalam kerangaka hubungan antara hubungan antara berbagai agama, maka lebih-lebih lagi harus diwujudkan dalam kerangka hubungan intra-Isalm, yakni, dalam kalangan kaum muslim sendiri.
Seperti digambarkan Rafsanjani sendiri tentang tirai besi yang runtuh satu persatu, nampaknya tidak terlalu jauh saatnya kita akan menyaksikan robohnya satu persatu sistem-sistem Monotolik, otoriter dan totaliter pemerintahan di banyak negara Islam. Kita semua sebaiknya mulai belajar berdemokrasi sebagai sikap hidup.

Relativisme Dalam Beragama. Istilah theologis di sini tidak digunakan dalam pengertian khususnya, sebagai ilmu kalam (theologi skolastik), tetapi sebagai penalaran tentang ajaran-ajaran agama secara keseluruhan. Hal pertama yang memerlukan penegasan ialah bahwa theologi sebagai ilmu (misalnya, tercermin dalam istilah “ilmu kalam”, dapat dilihat sebagai hasil dialog antara pemeluk Islam dengan perkembangan dan tempat dan karenanya, merupakan wujud warisan tantangan dan jawaban suatu bentuk perubahan sosial dalam sejarah.
Itu berarti bahwa terlebih dahulu harus disadari tentang kerelatifan suatu pandangan theologis. Pandangan seseorang tentang pemahamannya mengenai suatu agama tentu diakui oleh yang bersangkutan sebagai yang paling tepat dan paling benar mengenai agama itu. Tetapi,  sebagai entitas mengenai entitas yang lain, maka adalah tak masuk akal (Absurd) untuk melihat kedua-duanya sebagai identik dan bisa saling tukar (interchangeable). Jadi, pemahaman seorang atau kelompok tentang suatu agama bukanlah dengan sendirinya senilai dengan agama itu sendiri. Ini lebih-lebih lagi benar jika suatu agama diyakini hanya datang dari tuhan (wahyu, “agama samawi”) dan bukannya hasil akhir suatu proses historis dan sosiologis (dengan istilah “agama wahyu” atau “agama samawi” maka wewenang menetapkan agama atau tasyri’ [seharusnnya!] hanya ada pada tuhan atau berasal “dari langit”,” sementara yang datang dari manusia atau dari arah bumi [juga seharusnya!] dipandang sebagai relatif belaka).


Pintu Sosial dan Politik
            Berbagai Pintu Menuju Yusuf. Ketika nabi Ya’qub melepas anak-anaknya pergi ke Mesir, mencari Yusuf, dia berpesan, “Wahai anak-anakku, kamu janganlah masuk dari satu pintu, melaikan masuklah dari berbagai pintu yang berbeda” (QS. Yusuf : 67). Nabi Ya’qub yang bergelar Isra’il (artinya, hamba Allah) adalah lambang jiwa kebapakan yang penuh kesabaran dan tawakkal karena yakin setiap masalah tentu akan diberi tuhan jalan keluarnya. Dialah nenek moyang bangsa yahudi, yang juga disebut Bani Isra’il (anak turun Isra’il), yang bangsa itu banyak tampil nabi-nabi dan rasul-rasul.
            Sedangkan nabi Yusuf adalah personifikasi keadilan dan kemakmuran berkat kemampuannya memandang jauh ke depan. Dia juga melambangkan ketulusan yang tidak sedikit pun menyimpan rasa dendam kepada saudara-saudaranya yang dahulu pernah menyia-nyiakannya. Dia adalah simbol moralitas yang tinggi, yang tidak mempan godaan bangsawan cantik Zulaikha. Dia adalah juga wujud dari kebenaran.
            Nah, siapa tahu perkembangan sosial-politik tanah air kita menjelang pemilu sekarang ini mencerminkan makna dan semangat di balik metafor-metafor dan lambang-lambang di atas. Pertama, ada gejala yang sepintas lalu seperti menunjukkan bahwa orang mulai bosan dengan pemilu. Barangkali yang benar bukanlah gejala bosan melainkan cermin dari sikap jiwa yang dapat disebut “keraguan sehat” (health scepticism) akibat daya kritis yang semakin meningkat.
            Gejala “keraguan sehat” itu merupakan indikasi bagi gejala lain yang lebih sehat dan lebih penting lagi, yaitu mulai  tumbuhnya kemampuan orang banyak melihat alternatif-alternatif. Artinya, orang tidak lagi melihat sesuatu sebagai satu-satunya yang ada dan atau satu-satunya pilihan. Maka tanggapan kepada suatu fakta tidak lagi dalam kerangka serba mutlak melainkan nisbi belaka.
            Demokrasi sebagai sikap hidup menghendaki adanya kemungkinan alternatif pilihan-pilihan yang cukup banyak. Dan adanya berbagai alternatif itu sendiri menghendaki suasana yang memungkinkan orang untuk tidak melihat sesuatu sebagai serba  sempurna.

0 Comments:

Posting Komentar