Ilmu
ibarat sebuah permata yang sangat bernilai dan tak terkira harganya. Dengan
ilmu, Adam ‘alaihissalam dimuliakan di atas seluruh makhluk, hingga para
malaikat diperintah untuk sujud kepadanya.
Yang
menjadi pertanyaan di sini, ilmu apakah yang paling mulia yang seharusnya
dicari oleh seorang pencari ilmu? Jawabannya adalah ilmu syar’i (ilmu agama).
Ilmu inilah yang disebutkan kemuliaannya oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ilmu syar’i ini membahas tentang Allah Subhanahu
wa Ta’ala, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, ilmu tentang hak-Nya atas
hamba-hamba-Nya, dan tentang syariat-Nya terhadap para hamba. Sebagaimana ilmu
ini berbicara tentang jalan yang bisa menyampaikan kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, tentang tujuan dan akhir yang akan dicapai seorang hamba nantinya di
negeri akhirat.
Dengan
demikian, ilmu syar’i inilah yang sepatutnya dicari dengan penuh semangat.
Karena, dengannya seorang hamba bisa mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
dengannya seorang hamba bisa beribadah. Si hamba dapat mengetahui apa yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan, apa yang diharamkan, apa yang diridhai, dan
apa yang dimurkai-Nya. Dengan ilmu ini diketahui ke mana kehidupan ini akan
berakhir; ada sebagian hamba yang akhirnya bersenang-senang di dalam surga dan
sebagian besar lainnya sengsara dalam neraka.
Ilmu
syar’i ini bertingkat-tingkat. Yang paling utama dan paling mulia adalah ilmu
akidah yang pembahasannya berkaitan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya. Menyusul setelahnya, ilmu yang berkaitan dengan
hak-Nya terhadap hamba-hamba-Nya, tentang hukum-hukum syariat-Nya dan ke mana
akhir yang dituju oleh orang-orang yang beramal. Urutan selanjutnya adalah ilmu
yang membantu dan mengantarkan pada ilmu syar’i, seperti ilmu tentang
kaidah-kaidah bahasa Arab, istilah-istilah Islamiyah dalam ushul fiqih, dan
mushthalahul hadits. Demikian pula perkara-perkara lain yang berkaitan dengan
ilmu syar’i, yang membantu dan mendukung untuk memahaminya secara sempurna.
Termasuk ilmu yang penting dipelajari adalah sirah nabawiyyah, sejarah Islam,
biografi para perawi hadits, dan para ulama Islam.
Ilmu
merupakan sesuatu yang paling afdhal dan paling mulia bagi orang yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala perbaiki niatnya. Karena ilmu akan mengantarkan seseorang
untuk mengetahui kewajiban yang paling utama dan paling besar, yaitu
mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengikhlaskan ibadah untuk-Nya. Ilmu
juga menyampaikan seseorang untuk mengetahui hukum-hukum Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan apa yang diwajibkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Dengan demikian,
ilmu adalah kewajiban besar yang akan menyampaikan kepada penunaian
kewajiban-kewajiban yang besar. Tidak ada kebahagiaan yang diperoleh para hamba
dan tidak ada keselamatan bagi mereka kecuali dengan pertolongan Allah
Subhanahu wa Ta’ala kemudian dengan ilmu agama, berpegang dengan ilmu dan istiqamah
di atasnya.
Ulama
merupakan sebaik-baik manusia dan paling utama di muka bumi ini. Yang terdepan
dari mereka tentunya para rasul dan para nabi ‘alaihimussalam. Mereka adalah
qudwah (teladan). Mereka merupakan asas/fondasi dalam dakwah, ilmu dan keutamaan.
Setelah mereka, adalah ahlul ilmi sesuai dengan tingkatannya. Yang paling tahu
tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, nama dan sifat-sifat-Nya, yang paling
sempurna dalam amal dan dakwah, maka dialah orang yang terdekat dengan para
rasul, paling dekat derajat dan kedudukannya dengan para rasul di dalam surga
kelak. Ahlul ilmi adalah pemimpin di bumi ini, cahaya dan pelita bagi bumi.
Mereka membimbing manusia menuju jalan kebahagiaan, memberi petunjuk kepada
manusia menuju sebab-sebab keselamatan dan menggiring mereka kepada perkara
yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala serta menjauhkan mereka dari
sebab-sebab kemurkaan dan adzab-Nya.
(Dinukil Ummu
Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Al-‘Ilmu wa Akhlaqu Ahlihi, Asy-Syaikh Ibnu Baz
rahimahullahu) – telah diringkas
Imam
Ibnu Qayyim al-Jauziyah (wafat th. 751 H) v menjelaskan perbedaan antara ilmu
dengan harta, di antaranya sebagai berikut.
[1]. Ilmu
adalah warisan para Nabi, sedang harta adalah warisan para raja dan orang kaya.
[2]. Ilmu
menjaga pemiliknya, sedang pemilik harta menjaga hartanya.
[3]. Ilmu
adalah penguasa atas harta, sedang harta tidak berkuasa atas ilmu.
[4]. Harta bisa
habis dengan sebab dibelanjakan, sedangkan ilmu justru bertambah dengan
diajarkan.
[5]. Pemilik harta jika telah meninggal dunia, ia berpisah
dengan hartanya, sedangkan ilmu mengiringinya masuk ke dalam kubur bersama para
pemiliknya.
[6]. Harta bisa didapatkan oleh siapa saja, baik orang
ber-iman, kafir, orang shalih dan orang jahat, sedangkan ilmu yang bermanfaat
hanya didapatkan oleh orang yang beriman saja.
[7]. Sesungguhnya jiwa menjadi lebih mulia dan bersih dengan
mendapatkan ilmu, itulah kesempurnaan diri dan kemuliaannya. Sedangkan harta
tidak membersihkan dirinya, tidak pula menambahkan sifat kesempurnaan dirinya,
malah jiwanya menjadi berkurang dan kikir dengan mengumpulkan harta dan
menginginkannya. Jadi keinginannya kepada ilmu adalah inti kesempurnaan-nya dan
keinginannya kepada harta adalah ketidak-sempurnaan dirinya.
[8]. Sesungguhnya mencintai ilmu dan mencarinya adalah akar
seluruh ketaatan, sedangkan mencintai harta dan dunia adalah akar berbagai
kesalahan.
[9]. Sesungguhnya orang berilmu mengajak manusia kepada
Allah Azza wa Jalla dengan ilmunya dan akhlaknya, sedangkan orang kaya mengajak
manusia ke Neraka dengan harta dan sikapnya.
[10]. Sesungguhnya yang dihasilkan dengan kekayaan harta
adalah kelezatan binatang. Jika pemiliknya mencari kelezatan dengan
mengumpulkannya, itulah kelezatan ilusi. Jika pemiliknya mengumpulkan dengan
mengguna-kannya untuk memenuhi kebutuhan syahwatnya, itulah kelezatan binatang.
Sedangkan kelezatan ilmu, ia adalah kelezatan akal plus ruhani yang mirip
dengan kelezatan para Malaikat dan kegembiraan mereka. Di antara kedua
kelezatan tersebut (kelezatan harta dan ilmu) terdapat perbedaan yang sangat
mencolok.
Seorang muslim harus mengetahui tentang pengertian Islam, karena itu ia harus belajar tentang Islam, definisi, dan inti dari ajarannya yang mulia.
Seorang muslim harus mengetahui tentang pengertian Islam, karena itu ia harus belajar tentang Islam, definisi, dan inti dari ajarannya yang mulia.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam memberikan perumpamaan kepada kita mengenai orang yang faham tentang
agama Allah Ta’ala, ia memperoleh manfaat dari ilmunya dan memberikan manfaat
kepada orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan
perumpamaan orang yang tidak menaruh perhatian pada ilmu agama, dengan
kelalaiannya itu mereka menjadi orang yang merugi dan bangkrut.
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku
dengannya laksana hujan deras yang menimpa tanah. Di antara tanah itu ada yang
subur. Ia menerima air lalu menumbuhkan tanaman dan rerumputan yang banyak. Di
antaranya juga ada tanah kering yang menyimpan air. Lalu Allah memberi manusia
manfaat darinya sehingga mereka meminumnya, mengairi tanaman, dan berladang
dengannya. Hujan itu juga mengenai jenis (tanah yang) lain yaitu yang tandus,
yang tidak menyimpan air, tidak pula menumbuhkan tanaman. Itulah perumpamaan
orang yang memahami agama Allah, lalu ia mendapat manfaat dari apa yang Allah
mengutus aku dengannya. Juga perumpamaan atas orang yang tidak menaruh
perhatian terhadapnya. Ia tidak menerima petunjuk Allah yang dengannya aku
diutus.” [1]
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika datang membawa ajaran agama Islam, beliau
mengumpamakannya dengan hujan yang dibutuhkan manusia. Kondisi manusia sebelum
diutusnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam seperti tanah yang kering,
gersang dan tandus. Kemudian kedatangan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
membawa ilmu yang bermanfaat menghidupkan hati-hati yang mati sebagaimana hujan
menghidupkan tanah-tanah yang mati.
Kemudian
beliau mengumpamakan orang yang mendengarkan ilmu agama dengan berbagai tanah
yang terkena air hujan, di antara mereka adalah orang alim yang mengamalkan
ilmunya dan mengajarkannya. Orang ini seperti tanah subur yang menyerap air
sehingga dapat memberi manfaat bagi dirinya, kemudian tanah tersebut dapat
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan sehingga dapat memberi manfaat bagi yang lain.
Di
antara mereka ada juga orang yang menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu
namun dia tidak mengamalkannya, akan tetapi dia mengajarkannya untuk orang
lain. Maka, dia bagaikan tanah yang tergenangi air sehingga manusia dapat
memanfaatkannya. Orang inilah yang disebut dalam sabda beliau, “Allah
memperindah seseorang yang mendengar perkataan-perkataanku dan dia
mengajarkannya seperti yang dia dengar.” Di antara mereka ada juga yang
mendengar ilmu namun tidak menghafal/menjaganya serta tidak menyampaikannya
kepada orang lain, maka perumpamaannya seperti tanah yang berair atau tanah
yang gersang yang tidak dapat menerima air sehingga merusak tanah yang ada di
sekelilingnya.
Dikumpulkannya
perumpamaan bagian pertama dan kedua disebabkan keduanya sama-sama bermanfaat.
Sedangkan dipisahkannya bagian ketiga disebabkan tercela dan tidak bermanfaat.
Jadi,
perumpamaan hadits di atas terdiri dari 2 (dua) kelompok. Perumpamaan pertama
telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan perumpamaan kedua, bagian pertamanya
adalah orang yang masuk agama Islam namun tidak mengamalkan dan tidak
mengajarkannya. Kelompok ini diumpamakan dengan tanah tandus sebagaimana yang
diisyaratkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Orang
yang tidak menaruh perhatian terhadapnya.” Atau dia berpaling dari ilmu
sehingga dia tidak bisa memanfaatkannya dan tidak pula dapat memberi manfaat
kepada orang lain.
Adapun bagian kedua adalah orang yang
sama sekali tidak memeluk agama, bahkan telah disampaikan kepadanya pengetahuan
tentang agama Islam, tetapi ia mengingkari dan kufur kepadanya. Kelompok ini
diumpamakan dengan tanah datar yang keras, dimana air mengalir di atasnya,
tetapi tidak dapat memanfaatkannya.
Hal ini
diisyaratkan dengan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Dan tidak
peduli dengan petunjuk Allah yang aku diutus dengannya.”
[Diringkas dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga
“Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka
At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama
Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
___________
___________
Catatan Kaki
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 79) dan Muslim (no. 2282), dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh hadits ini milik al-Bukhari.
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 79) dan Muslim (no. 2282), dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh hadits ini milik al-Bukhari.
Ilmu Ada Tiga
Macam:
[1]. Ilmu tentang Allah, Nama-Nama, dan sifat-sifat-Nya
serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Contohnya adalah sebagaimana Allah
menurunkan surat al-Ikhlaash, ayat Kursi, dan sebagainya.
[2]. Ilmu mengenai berita dari Allah tentang hal-hal yang
telah terjadi dan akan terjadi di masa datang serta yang sedang terjadi.
Contohnya adalah Allah menurunkan ayat-ayat tentang kisah, janji, ancaman,
sifat Surga, sifat Neraka, dan sebagainya.
[3]. Ilmu mengenai perintah Allah yang berkaitan dengan hati
dan perbuatan-perbuatan anggota tubuh, seperti beriman kepada Allah, ilmu
pengetahuan tentang hati dan kondisinya, serta perkataan dan perbuatan anggota
badan. Dan hal ini masuk di dalamnya ilmu tentang dasar-dasar keimanan dan
tentang kaidah-kaidah Islam dan masuk di dalamnya ilmu yang membahas tentang
perkataan dan perbuatan-perbuatan yang jelas, seperti ilmu-ilmu fiqih yang
membahas tentang hukum amal perbuatan. Dan hal itu merupakan bagian dari ilmu
agama. [4]
Ilmu yang bermanfaat dapat diketahui dengan melihat kepada
pemilik ilmu tersebut. Di antara tanda-tanda ilmu yang bermanfaat adalah:
[1]. Orang yang bermanfaat ilmunya tidak peduli terhadap
keadaan dan kedudukan dirinya, serta hati mereka membenci pujian dari manusia,
tidak menganggap dirinya suci, dan tidak sombong terhadap orang lain dengan
ilmu yang dimilikinya.
Imam al-Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H) rahimahullaah
mengatakan, “Orang yang faqih hanyalah orang yang zuhud terhadap dunia, sangat
mengharapkan kehidupan akhirat, mengetahui agamanya, dan rajin dalam
beribadah.” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Ia tidak iri terhadap orang
yang berada di atasnya, tidak sombong terhadap orang yang berada di bawahnya,
dan tidak mengambil imbalan dari ilmu yang telah Allah Ta’ala ajarkan
kepadanya.” [1]
[2]. Pemilik ilmu yang bermanfaat, apabila ilmunya
bertambah, bertambah pula sikap tawadhu’, rasa takut, kehinaan, dan
ketundukannya di hadapan Allah Ta’ala.
[3]. Ilmu yang bermanfaat mengajak pemiliknya lari dari
dunia. Yang paling besar adalah kedudukan, ketenaran, dan pujian. Menjauhi hal
itu dan bersungguh-sungguh dalam menjauhkannya, maka hal itu adalah tanda ilmu
yang bermanfaat.
[4]. Pemilik ilmu ini tidak mengaku-ngaku memiliki ilmu dan
tidak berbangga dengannya terhadap seorang pun. Ia tidak menisbatkan kebodohan
kepada seorang pun, kecuali seseorang yang jelas-jelas menyalahi Sunnah dan
Ahlus Sunnah. Ia marah kepadanya karena Allah Ta’ala semata, bukan karena
pribadinya, tidak pula bermaksud meninggikan kedudukan dirinya sendiri di atas
seorang pun. [2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H)
rahimahullaah membagi ilmu yang bermanfaat ini -yang merupakan tiang dan asas
dari hikmah- menjadi tiga bagian. Beliau rahimahullaah berkata, “Ilmu yang
terpuji, yang ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah adalah ilmu yang
diwariskan dari para Nabi, sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam.
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan
mereka tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Mereka hanyalah mewariskan
ilmu. Siapa yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” [3]
[Diringkas dari
buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid
bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa
Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
___________
Foote Notes
[1]. Sunan ad-Darimi (I/89)
[2]. Disarikan dari kitab Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 55-57).
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no. 223), dan Ibnu Hibban (no. 80-Mawaarid), ini lafazh Ahmad, dari Shahabat Abu Darda’ radhiyallaahu ‘anhu.
[4]. Majmu’ Fataawaa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XI/396,397 dengan sedikit perubahan). Lihat kitab Muqawwimaat ad-Daa’iyah an-Naajih, hal. 18, karya Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani.
___________
Foote Notes
[1]. Sunan ad-Darimi (I/89)
[2]. Disarikan dari kitab Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 55-57).
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no. 223), dan Ibnu Hibban (no. 80-Mawaarid), ini lafazh Ahmad, dari Shahabat Abu Darda’ radhiyallaahu ‘anhu.
[4]. Majmu’ Fataawaa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XI/396,397 dengan sedikit perubahan). Lihat kitab Muqawwimaat ad-Daa’iyah an-Naajih, hal. 18, karya Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani.
0 Comments:
Posting Komentar