Beda Bid’ah dan Mashalih Mursalah
Oleh : muslim.or.id
Saudaraku
seiman, yang akan kita bahas kali ini sangatlah penting, yaitu persamaan dan
perbedaan antara bid’ah dan mashalih mursalah. Dalam buku Mana
Dalilnya 1, si penulis tak bisa membedakan antara bid’ah dan mashalih
mursalah, akibatnya ia menggolongkan hal-hal yang merupakan mashalih
mursalah ke dalam bid’ah[1]).
Seperti ketika menjelaskan bid’ah wajib, ia mengatakan:
Bid’ah wajib
ialah bid’ah yang harus dilakukan demi menjaga terwujudnya kewajiban yang telah
ditetapkan Allah. Di antaranya adalah:
- Mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an menjadi satu mushaf demi menjaga keaslian Al Qur’an, karena telah banyak penghapal Al Qur’an yang meninggal dunia, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma.
- Memberi titik dan harakat (garis tanda fathah, kasrah dan dzamma pada huruf-huruf Al Qur’an). Pada zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum, Al Qur’an ditulis tanpa titik dan harakat. Pemberian harakat dan titik baru dilakukan pada masa Tabi’in. Tujuannya adalah untuk menghindari kesalahan baca yang dapat menimbulkan salah pengertian dan penafsiran.
- Membukukan Hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan ahli Hadits lainnya.
- Menulis buku-buku tafsir Al Qur’an demi menghindari salah penafsiran dan untuk memudahkan masyarakat memahami Al Qur’an.
- Membuat buku-buku fiqih sehingga hukum agama dapat diterapkan dengan baik dan mudah. [2])
Sebelum
menjelaskan kerancuan klasifikasi di atas, ada baiknya kalau kita mengenal
terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan mashalih mursalah itu.
Definisi Mashalih Mursalah
Istilah di
atas merupakan salah satu istilah ushul fiqih yang masyhur, yang
tersusun dari dua kata; mashalih (مَصَالِحٌ) dan mursalah (مُرْسَلَةٌ).
Kata yang pertama adalah bentuk jamak dari ‘maslahah’ (مَصْلَحَةٌ) yang
artinya manfaat/kemaslahatan. Sedangkan mursalah artinya yang diabaikan.
Jadi mashalih mursalah secara bahasa artinya ialah
kemaslahatan-kemaslahatan yang diabaikan.
Agar lebih
jelas, kita harus tahu bahwa setiap kemaslahatan pasti tak lepas dari salah
satu keadaan berikut;
- Maslahah mu’tabarah (kemaslahatan yang diperhitungkan)
- Maslahah mulghaah (kemaslahatan yang dibatalkan)
- Maslahah mursalah (kemaslahatan yang diabaikan)
Maslahah
mu’tabarah
pengertiannya ialah setiap manfaat yang diperhitungkan oleh syari’at
berdasarkan dalil-dalil syar’i. Aplikasi dari maslahah mu’tabarah ini
biasanya kita temui dalam masalah qiyas. Misalnya ketika syari’at mengharamkan
khamer, sesungguhnya ada suatu alasan yang selalu diperhitungkan dalam hal ini,
yaitu sifat memabukkan.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ
مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ (رواه مسلم رقم 2003).
“Setiap
yang memabukkan adalah khamer, dan setiap khamer itu haram” (H.R. Muslim no
2003). Karenanya,
segala sesuatu yang memabukkan -entah itu makanan, minuman, atau apapun-
dihukumi sama dengan khamer. Qiyas semacam ini merupakan bentuk
pengamalan akan maslahah mu’tabarah [3]).
Karena dengan begitu kita dapat menjaga akal manusia dari segala sesuatu yang
merusaknya, yang dalam hal ini adalah khamer. Sedangkan menjaga akal merupakan maslahah
yang diperhitungkan oleh syari’at [4]).
Kesimpulannya,
pengharaman setiap yang memabukkan seperti miras dan narkoba merupakan maslahah
mu’tabarah.
Sedangkan maslahah
mulghaah, ialah kemaslahatan yang dianggap batal oleh syari’at. Contohnya
ialah maslahat yang terkandung dalam khamer dan perjudian. Allah Ta’ala
berfirman,
(البقرة: من الآية 219)
Mereka
bertanya kepadamu tentang khamer dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya
lebih besar dari manfaatnya…” (Al Baqarah: 219).
Allah
menjelaskan dalam ayat ini bahwa khamer dan judi itu mengandung beberapa
manfaat bagi manusia, namun demikian hukumnya haram sehingga manfaatnya
dianggap batal oleh syari’at Islam. Inilah yang dinamakan maslahah mulghaah.
Contoh lainnya ialah maslahat mencari kekayaan dengan cara menipu dan
manipulasi. Kekayaan di sini merupakan maslahat, akan tetapi caranya
bertentangan dengan syari’at, sehingga maslahat yang ditimbulkannya dianggap
batal. Demikian pula wanita yang mencari uang lewat melacur umpamanya.
Adapun maslahah
mursalah, maka tak ada dalil dalam syari’at yang secara tegas
memperhitungkan maupun membatalkannya. Singkatnya, maslahah mursalah
adalah maslahat-maslahat yang terabaikan –alias tidak ada dalil khusus yang
menetapkan atau menolaknya,– namun ia sesuai dengan tujuan-tujuan syari’at [5]).
Atau dengan bahasa yang lebih sederhana, kita tahu bahwa sesungguhnya syari’at
ditegakkan di atas azas mendatangkan manfaat dan menolak madharat. Karenanya, segala
sarana yang bisa mendatangkan manfaat bagi seorang muslim atau menolak madharat
darinya, boleh dipakai selama cara tersebut tidak bertentangan dengan syari’at[6]). Inilah
sebenarnya hakekat mashalih mursalah, dan inilah yang sering dianggap bid’ah
hasanah oleh sebagian orang yang tidak faham.
Untuk lebih
jelasnya, kami akan menyebutkan beberapa persamaan antara bid’ah dan
mashalih mursalah:
No
|
Mashalih Mursalah
|
Bid’ah
|
1
|
Tidak dijumpai di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam
|
Tidak dijumpai di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam
|
2
|
Tidak memiliki dalil khusus yang secara tegas
berkaitan dengannya
|
Tidak memiliki dalil khusus yang secara tegas
berkaitan dengannya
|
Sedangkan perbedaan
antara keduanya ialah:
No
|
Maslahah Mursalah
|
Bid’ah
|
1
|
Bisa bertambah dan berkurang atau bahkan
ditinggalkan sesuai dengan kebutuhan, karena ia sekedar sarana & bukan
tujuan hakiki, alias bukan ibadah yang berdiri sendiri.
|
Bersifat paten dan dipertahankan hingga tidak
bertambah atau berkurang, karena ia merupakan tujuan hakiki alias
ibadah yang berdiri sendiri dan bukan sarana.
|
2
|
Sebab-sebabnya belum ada di zaman Nabi; atau
sudah ada tapi ada penghalangnya
|
Sebab-sebabnya sudah ada di zaman Nabi dan tidak
ada penghalangnya.
|
3
|
Tidak mengandung unsur memberatkan, karena tujuan
dasarnya ialah mencari kemaslahatan.
|
Mengandung unsur memberatkan, karena tujuannya
dasarnya untuk berlebihan dalam beribadah.
|
4
|
Selaras dengan misi syari’at (maqashidus syari’ah)
|
Tidak selaras dengan misi syari’at, bahkan cenderung
merusaknya [7]).
|
Kalau kita
merenungi perbedaan-perbedaan di atas, maka kerancuan yang terjadi dalam
menentukan mana bid’ah dan mana maslahah mursalah bisa kita hindari. Jika
salah satu ciri bid’ah di atas kita temukan dalam suatu masalah, maka
ketahuilah bahwa ia termasuk bid’ah, demikian halnya dengan mashalih
mursalah.
Kemudian
perlu diketahui pula bahwa mashalih mursalah terbagi menjadi tiga: dharuriyyah
(bersifat darurat), haajiyyah (diperlukan), dan tahsiniyyah
(sekedar tambahan/pelengkap). Contoh yang dharuriyyah ialah pembukuan Al
Qur’an dalam satu mushaf, sedangkan contoh yang haajiyyah ialah membuat mihrab
di masjid sebagai petunjuk arah kiblat; dan contoh yang tahsiniyyah
seperti melakukan adzan awal sebelum adzan subuh[8]).
Bertolak dari sini, kita akan menjawab semua yang dianggap bid’ah di atas:
1. Pembukuan Al Qur’an dalam satu
Mushaf
Hal ini
termasuk maslahah mursalah dharuriyyah karena beberapa alasan; pertama:
ia merupakan sarana untuk menjaga keotentikan Al Qur’an dan bukan tujuan
hakiki. Karenanya, sekarang Al Qur’an tidak sekedar berwujud mushaf, akan
tetapi sudah direkam dalam kaset, CD, dan perangkat elektronik lainnya. Kedua:
kendati sebab-sebabnya ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tapi ketika itu ada yang menghalangi para sahabat untuk membukukannya. Karena
ketika itu Al Qur’an belum turun seluruhnya, dan sering terjadi nasekh
(penghapusan hukum atau lafazh ayat tertentu). Padahal alasan untuk membukukan
sudah ada, dan sarana tulis-menulis pun ada. Ketiga: dengan dibukukan
dalam satu mushaf, penjagaan akan keotentikan Al Qur’an jadi lebih mudah.
Lebih dari
itu, penulisan Al Qur’an dalam satu mushaf merupakan sunnah-nya Khulafa’ur
Rasyidin, jadi tidak bisa dikatakan sebagai bid’ah [9]).
2. Pemberian titik dan harakat pada
huruf-huruf Al Qur’an
Sebagaimana
pendahulunya, hal ini bukanlah bid’ah namun termasuk maslahah mursalah dharuriyyah
jika dilihat dari tiga sisi. Pertama: ia merupakan cara/wasilah agar
orang tak keliru membaca ayat, tapi bukan tujuan hakiki dan ibadah yang berdiri
sendiri. Karenanya cara tersebut bisa ditambah/diperlengkap sesuai kebutuhan,
seperti tanda-tanda waqaf, saktah, isymam, dan semisalnya.
Kedua: sebab-sebabnya belum ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam karena para sahabat semuanya fasih dalam berbahasa Arab, sehingga mereka
tak perlu pakai titik dan harakat dalam membaca teks Arab, apalagi sebagian
besar mereka masih mengandalkan kekuatan hafalan daripada tulis-menulis. Ketika
banyak orang ‘ajam (non Arab) yang masuk Islam, otomatis mereka tak
mampu membaca huruf Arab yang gundul tanpa titik dan harakat tadi. Maka
diberilah tanda-tanda tertentu sebagai pedoman membaca. Ketiga:
tujuannya jelas untuk mempermudah membaca Al Qur’an.
3. Membukukan hadits-hadits Nabi
Ini pun
termasuk maslahah mursalah dharuriyyah karena beberapa hal. Pertama:
ia merupakan sarana untuk mengumpulkan dan mengabadikan hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan bukan ibadah yang berdiri sendiri. Karenanya metode
yang digunakan pun berubah-ubah sesuai kebutuhan[10]).
Kedua: belum ada sebab-sebab yang mendorong hal itu di zaman Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Karena saat itu belum ada pemalsuan hadits, dan
periwayatan hadits berada di tangan orang-orang yang jujur dan terpercaya.
Namun ketika terjadi fitnah antara Ali radhiyallahu ‘anhu dan Mu’awiyah radhiyallahu
‘anhu, para pendukung dari masing-masing golongan mulai berani memalsukan
hadits atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuan
mengunggulkan pemimpin masing-masing, tambah lagi periwayatan hadits pun
semakin meluas dan mencakup setiap golongan, baik yang jujur dan kuat
hafalannya, maupun yang pendusta dan sering lupa. Karenanya para ulama
terdorong untuk membukukan hadits dan menjelaskan derajat hadits tersebut. Ketiga:
tujuannya jelas untuk mendekatkan kaum muslimin kepada Sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam agar mudah dibaca dan diamalkan.
Lebih-lebih
dengan memperhatikan sifat maslahah mursalah yang disyaratkan: harus
sesuai dengan tujuan-tujuan syari’at, jelas sekali bagi kita bahwa meski
kesemuanya ini tidak memiliki dalil khusus yang menetapkan maupun menolaknya,
namun semuanya selaras dengan misi syari’at yang antara lain bertujuan menjaga
dien.
Demikian
pula dengan contoh keempat dan kelima yang disebutkan oleh Novel di atas. Itu
semua termasuk maslahah mursalah yang berkisar antara dharuriyyah
atau haajiyyah, dan tidak ada kaitannya dengan bid’ah hasanah kalau kita
terapkan penalaran tadi.
Contoh lain
dari maslahah mursalah yang sering dianggap bid’ah ialah penggunaan
mikrofon dan karpet di masjid-masjid, berangkat haji dengan pesawat terbang,
makan dengan sendok dan garpu, cara berpakaian, dan sebagainya. Mereka yang
menganggapnya bid’ah hendak menyamakannya dengan tahlilan, shalawatan,
peringatan 7 harian, 40 harian, 100 harian, dan bid’ah-bid’ah lainnya. Sehingga
kita jadi serba susah kalau ingin membid’ahkan hal-hal semacam ini. Untuk itu
mari kita bahas permasalahan ini dengan menerapkan kaidah pembeda antara bid’ah
dengan maslahah mursalah.
4. Penggunaan mikrofon di masjid-masjid
Hal ini sama
sekali bukan bid’ah secara syar’i, mengapa?
- Pertama: karena mikrofon hanyalah sarana untuk memperluas jangkauan adzan, ceramah, dan sebagainya; dan alasan ini didukung oleh syari’at. Buktinya ialah disunnahkannya memilih muadzin yang bersuara lantang. Ini jelas menunjukkan bahwa ia sekedar sarana dan bukan ibadah yang berdiri sendiri. Artinya tidak ada seorang pun yang meyakini bahwa dengan menggunakan mikrofon pahalanya akan bertambah. Begitu pula kalau sekali waktu mikrofon itu ngadat, aktivitas tetap berjalan tanpa kurang suatu apa, karena ia tak lebih dari sekedar alat.
- Kedua: alat seperti ini belum ada di zaman Rasulullah, karenanya keberadaannya sekarang bukanlah bid’ah secara syar’i.
- Ketiga: ia bertujuan mempermudah, bukan memberatkan.
5. Berangkat haji dengan pesawat terbang
Hal ini juga
sering diidentikkan dengan bid’ah[11]).
Tentunya dengan logika yang dangkal pun kita bisa membantahnya… Memang apa
sangkut-pautnya antara ibadah haji dan kendaraan yang kita naiki? Adakah
seseorang meyakini bahwa dengan naik pesawat hajinya jadi lebih mabrur? Tentu
tidak. Ia tak ubahnya seperti orang yang berangkat shalat jum’at dengan naik
mobil, sepeda motor, becak, atau kendaraan lainnya. Sama sekali tak terbetik
dalam benaknya bahwa kendaraan yang ia tumpangi memberikan nilai plus terhadap
ibadahnya. Apa lagi kalau dilihat dari segi sebabnya, jelas di zaman Nabi belum
ada sebab-sebab terwujudnya pesawat terbang. Demikian pula dengan fungsinya
yang hanya sebagai sarana transportasi belaka. Juga dari sifatnya yang
mengikuti perkembangan teknologi. Kalau dahulu kaum muslimin berangkat haji
dengan mengendarai unta atau berjalan kaki, kemudian terus berkembang hingga
kira-kira di awal abad 20 mulai digunakan kendaraan bermotor dan kapal laut,
maka saat ini mereka menggunakan pesawat terbang. Entah kendaraan apa yang akan
digunakan seabad kemudian…
Adapun cara
makan, jika
dilakukan dengan menyerupai orang kafir, atau berangkat dari keyakinan tertentu
seperti menghindari jenis makanan tertentu yang dihalalkan dengan niat taqarrub
kepada Allah Ta’ala, padahal tidak ada anjuran untuk itu; maka ia
termasuk bid’ah. Namun jika tidak demikian maka tidak termasuk bid’ah.
Demikian
pula dengan cara berpakaian, ia tidak bisa dikategorikan sebagai bid’ah selama
tidak menyerupai orang kafir, atau dilakukan cara tertentu yang tidak berdasar
kepada dalil tapi diiringi i’tikad bahwa hal tersebut dianjurkan dalam Islam.
-bersambung insya Allah-
Penulis:
Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa
Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Artikel www.muslim.or.id
[1])
Demikian pula setiap orang yang mengatakan adanya bid’ah hasanah, pasti ia
mencampuradukkan antara bid’ah dengan mashalih mursalah.
[2])
Mana Dalilnya 1, hal 29.
[3])
Lihat Mudzakkirah fi Ushulil Fiqh hal 201, oleh Syaikh Al ‘Allamah
Muhammad Al Amin Asy Syinqithy, cet Maktabatul ‘Ulum wal Hikam, Madinah
Saudi Arabia.
[4])
Para ulama menyebutkan bahwa misi setiap syari’at (maqashidu asy syari’ah)
itu ada lima:
- Menjaga dien (agama).
- Menjaga jiwa.
- 3. Menjaga akal.
- Menjaga keturunan.
- Menjaga harta. Ada pula yang menambahnya dengan:
- Menjaga kehormatan.
(lihat Al
Ihkam, 3/274 oleh Al Aamidy, ta’liq Syaikh Abdurrazzaq Al ‘Afify cet. Al
Maktabul Islamy; Al Bahrul Muhith (كتبا القياس,
تقسيم المناسب) oleh Badruddien
Az Zarkasyi; Syarh Al Kaukabul Munier (باب
القياس, الرابع من مسالك العلة المناسبة) oleh Al Futuhy.
[5])
Lihat: Mukhtasar Al I’tisham hal 101 oleh Imam Asy Syathiby. Ikhtisar
oleh Sayyid ‘Alawi bin Abdul Qadir Assaqqaf, cet 1 1418H Daarul Hijrah,
Riyadh – Saudi Arabia.
[6])
Lihat: Al Inshaf, 26-28.
[7])
Lihat Qawa’id fi Ma’rifatil Bida’, oleh DR. Muhammad Husein Al Jezany.
[8])
Ibid, hal 29-30.
[9])
Bandingkan dengan bid’ahnya majelis dzikir jama’ah yang sering terlihat di
televisi umpamanya. Pertama: hal tersebut adalah tujuan hakiki, bukan
sekedar sarana; karenanya ia dianggap sebagai ibadah yang berdiri sendiri. Kedua:
sebab-sebab untuk mengadakannya sudah ada di zaman Nabi; dan tidak ada yang
menghalangi para sahabat untuk melakukannnya. Ketiga: ia mengandung
unsur memberatkan karena sifatnya menambah aktivitas ibadah seseorang. Keempat:
tidak sesuai dengan misi syari’at dan dalil syar’i, diantaranya firman Allah
yang maknanya: “Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu dalam hatimu dengan khusyu’
dan rasa takut, serta dengan tidak mengeraskan suara, baik di pagi maupun
petang hari…” (Al A’raf: 205).
[10]) Ada
yang mengumpulkan berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkannya (seperti
kitab-kitab musnad); ada pula yang berdasarkan topik-topik tertentu dengan
hanya memasukkan yang shahih saja (disebut Jaami’, seperti Al Jaami’us Shahih
atau Shahih Bukhari dan Shahih Muslim); ada lagi yang khusus berkenaan dengan
masalah fiqih (disebut Sunan, seperti Sunan Abu Dawud, An Nasa’i, Ibnu Majah,
dll), dan seterusnya. Ini menandakan bahwa penyusunnya tidak mempertahankan
model tertentu tapi sewaktu-waktu dapat ditinggalkan.
[11] Dalam buku Mana
Dalilnya hal 31, Novel menggolongkannya dalam bid’ah mubah.
0 Comments:
Posting Komentar