Kamis, 05 Juni 2014

Kewajiban Membayar Dam Dalam Ihrom



Kewajiban Membayar Dam Dalam Ihrom
Oleh : Khotibul Umam
DAM ialah Denda atau tebusan bagi mereka yang menunaikan haji atau umrah tetapi melakukan pelanggaran ketentuan atau peraturan yang telah ditetapkan oleh pihak penyelenggara haji dan umroh.
DAM yang wajib dalam manasik, sama saja apakah ia meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram, maka kewajibannya adalah membayar satu kambing kecuali jika  ia dengan sengaja menggauli istrinya, maka kewajibannya adalah menyembelih seekor unta yang kemudian di bagikan kepada orang-orang fakir miskin di tanah haram.
Yang wajib mengeluarkan DAM adalah jika kita melakukan lima hal sebagai berikut :
1.      Meninggalkan yang wajib, seperti tidak melakukan ihrom dari miqot atau tidak melempar jumroh, maka ia dikenakan DAM tartib dan ta’dil, yakni wajib bagi si pelaku menyembelih seekor kambing, dan apabila ia tidak mampu dikarenakan tidak adanya kambing, maka wajib baginya untuk membeli makanan, seharga dengan kambing tersebut kemudian di bagikan kepada fakir miskin di tanah haram, dan apabila tidak mampu juga maka ia wajib berpuasa satu hari setiap satu mud. Di hitung sesuai dengan harga satu kambing tersebut.

2.      Fidyah karena melakukan larangan ihram, yaitu mencukur rambut, memotong kuku, memakai wangi-wangian, mencumbu istri dengan syahwat, memakai pakain berjahit yang membentuk lekuk tubuh bagi laki-laki, memakai sarung tangan, menutup rambut kepala, dan memakai niqob bagi wanita. Maka ia terkena DAM takhyir dan taqdir, yaitu memilih diantara tiga hal :
a.      Menyembelih satu ekor kambing
b.      Memberi makan kepada enam orang miskin
c.       Berpuasa selama tiga hari
Alloh SWT berfirman :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ
                                                                                                                                    Artinya :” jika ada di antaramu yang sakit atau gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu : berpuasa atau bersedekah atau berkurban” (Al-Baqoroh :196 )
3.      DAM karena terkepung atau terhambat, orang yang terhalang, tidak dapat meneruskan pekerjaan haji atau umroh, baik terhalang ditanah halal atau di tanah haram, sedangkan tidak ada  jalan lain, maka hendaklah ia bertahallul dengan menyembelih seekor kambing di tempatnya terhambat itu, dan mencukur rambut kepalanya, Menyembelih dan bercukur itu hendaklah dengan niat tahallul (Penghalalan yang Haram). Hal ini berdasarkan firman Alloh ‘azza wa jalla :
(
فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ
Artinya :”jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit) maka ( sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan lah kamu mencukur kepalamu sampai hewan kurban sampai di tempat penyembelihannya”) .Al-Baqoroh :196

Dan didalam shahihain {“bahwasanya nabi SAW bertahallul pada saat hudaibiyah, dikala itu orang-orang kafir menghalanginya sedangkan ia sedang dalam kondisi seorang muhrim (orang yang sedang melakukan  ibadah umroh)”} dan hendaknya ia mendahulukan menyembelih binatang dari mencukur rambutnya, sebagaimana firman Alloh SWT :

وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ
Artinya : “dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum hadyu sampai di tempat”. Al-Baqoroh :196
4.      DAM yang wajib dibayar oleh orang yang sedang berihrom bila membunuh binatang buruan darat, maka Dam nya adalah ia boleh memilih dari tiga hal :
1.      Menyembelih hewan yang semisal dengan hewan yang ia bunuh
2.      Membeli makanan yang senilai harganya dengan hewan yang ia bunuh
3.      Atau berpuasa 1 mud untuk satu hari, dan bilangan ini harus sesuai dengan harga binatang yang ia bunuh
Hal ini sebagaimana firman Alloh SWT :
فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا
Artinya :”Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka'bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu” (Al-maaidah:95)
5.      DAM jima’ yaitu dam yang di wajibkan kepada jamaah haji yang dengan sengaja menggauli istrinya di tengah-tengah pelaksanaan ibadah haji, maka ia terkena DAM tartib dan ta’dil yaitu : “yaitu pertama kali wajib menyembelih onta, apabila tidak mampu boleh menyembelih sapi, apabila tidak mampu boleh menyembelih 7 ekor kambing, dan apabila tidak mampu maka ia boleh membeli makanan yang seharga dengan itu, kemudian disedekahkan kepada fakir miskin di tanah haram tersebut, namun apabila ia juga tidak mampu, maka ia berpuasa 1 mud untuk satu hari sampai mencapai nilai semisal dengan kafaroh yang telah di tentukan”. (“bahwasanya umar bin khattab dan anaknya abdulloh menfatwakan akan hal tersebut, begitu juga dengan ibnu abbas dan abu hurairoh rasiyallohu ‘anhum”).

v  Binatang hadyu itu bisa di sembelih di tempat ia terhambat atau terkepung atau di tempat selain itu (tanah haram), maka seandainya ia terhambat untuk melanjutkan ibadah hajinya, baik itu karena ia sakit, atau karena terkepung oleh musuh, maka ia menyembelih binatang hadyu di tempat ia terhambat tersebut, sebagaimana Nabi SAW menyembelih di hudaibiyah saat ia terkepung atau terhambat dalam ibadah ihromnya.
Adapun Dam yang wajib di karenakan ia melakukan sesuatu yang diharamkan dalam haji, atau meninggalkan salah satu rukun haji maka ia menyembelih binatang hadyu tersebut ditanah haram, sebagaimana Aloh SWT berfirman :
هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ
Artinya :” yang dibawa sampai ke Ka'bah” Al-Maaidah : 95
                Dan kemudian dagingnya dibagikan untuk fakir miskin di tanah haram, dan tidak ada perbedaan antara fakir miskin yang muqim ataupun pendatang, akan tetapi dibagikan untuk fakir miskin yang muqim itu lebih utama, dan apabila itu diganti dengan makanan maka wajib baginya untuk memberikan makanan tersebut kepada fakir miskin di tanah haram.

v  Membunuh binatang yang duharamkan dan menebang pohon. Haram hukum bagi seorang baik ia sedang ihrom ataukah tidak berburu binatang ditanah haram, begitu juga tidak di perbolehkan baginya untuk menebang pohon atau merusak tanaman yang ada disana, kecuali tanaman yang sudah kering yang mengganggu sebagaimana di bolehkan juga untuk membunuh binatang yang berbahaya, sebagaimana sabda nabi SAW :

إِنَّ هَذَا الْبَلَدَ حَرَّمَهُ اللَّهُ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَإِنَّهُ لَمْ يَحِلَّ الْقِتَالُ فِيهِ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَلَمْ يَحِلَّ لِي إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا يُعْضَدُ شَوْكُهُ وَلَا يُنَفَّرُ صَيْدُهُ وَلَا يَلْتَقِطُ لُقَطَتَهُ إِلَّا مَنْ عَرَّفَهَا وَلَا يُخْتَلَى خَلَاهُ فَقَالَ الْعَبَّاسُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِلَّا الْإِذْخِرَ فَإِنَّهُ لِقَيْنِهِمْ وَلِبُيُوتِهِمْ قَالَ إِلَّا الْإِذْخِرَ
ِِِ             Artinya :"Sesungguhnya negeri ini telah Allah haramkan (sucikan) sejak hari penciptaan langit dan bumi, maka dia akan tetap haram dengan ketetapan Allah itu hingga hari kiamat, dan sesungguhnya tidaklah dihalalkan untuk berperang di dalamnya bagi seorangpun sebelumku, dan juga tidak dihalalkan bagiku kecuali sesaat saja dalam suatu hari, maka dia haram dengan ketetapan Allah itu hingga hari kiamat, tidak boleh ditebang pepohonannya, tidak boleh diburu hewan buruannya dan tidak ditemukan satupun barang temuan kecuali harus dikembalikan kepada yang mengenalnya (pemiliknya) dan tidak boleh ditebang pepohonnya". Maka Abbas radhiyallahu 'anhu berkata: "Wahai Rasulullah, kecuali pohon idzkhir yang berguna untuk wewangian tukang besi mereka (penduduk Makkah) dan rumah-rumah mereka". Beliau bersabda: "Ya, kecuali pohon idzkhir". (HR. Bukhori dan Muslim )
               Namun di bolehkan mengambil dedaunannya apabila itu di gunakan untuk kepentingan berobat, karena ini termasuk hajah yakni kebutuhan yang mendesak yang menyebabkan hal itu di perbolehkan. Karena kebutuhan ini lebih penting dari izkhir (yang berguna untuk wewangian tukang besi mereka (penduduk Makkah) dan rumah-rumah mereka).
v  Menghajikan orang lain, jika seseorang muslim telah sanggup untuk menunaikan ibadah haji, namun ia terhalang mengerjakannya di karenakan sakit atau karena ia sudah tua sehingga tidak mampu mengerjakan ibadah tersebut, maka tidak mengapa baginya untuk mewakilkan hajinya kepada orang lain, dalilnya adalah, :
Hadist ibnu abbas radiyallohu ‘anhuma, bahwasanya ada seorang wanita dari bani khos’am berkata :”wahai rosululloh, sesungguhnya Alloh SWT telah mewajibkan kepada hambanya untuk mengerjakan ibadah haji, sedangkan ayahku seorang yang sangat tua yang tidak bisa lagi melakukan perjalanan untuk menunaikan ibadah haji, apakah aku boleh melaksakan haji untuknya ?, amak nabi sholloluhu ‘alaihi wasallam menjawab, “ia[1]
Dan barangsiapa yang meninggal, sedangkan ia berkeinginan untuk melaksanakan ibadah haji atau ingin menyempurnakan keislaman nya, maka hendaklah walinya melaksanakan iabdah haji untuknya, sebagaimana diriwayatkan :
أن امرأة من جهينة جاءت النبي {صلى الله عليه وسلم} - فقالت إن أمي نذرت أن تحج فلم تحج حتى ماتت أفأحج عنها قال حجي عنها
                “Bahwasanya seorang wanita dari juhainah mendatangi nabi shololluhu ‘alaihi wasallam, dan ia bertanya kepada nabi, “sesungguhnya ibuku telah bernazar untuk melaksakan iabdah haji dan ia belum melaksakannya hingga ia meninggal dunia, maka apakah aku boleh melaksanaka ibadah haji untuknya ?, maka nabi pun menjawab, “iya, berhajilah untuknya”.[2]
Dan disyaratkan untuk yang mewakilkannya :
1.       hendaknya ia telah berhaji untuk dirinya sendiri
2.      Seseorang yang terpercaya (tsiqoh)
3.      Hendaknya ia paham akan hukum-hukum atau tata cara pelaksanaan haji
4.      Dan disunnahkan baginya disaat mengucapkan talbiyah, mengatakan “labbaika fulan”. Wallohu ‘alam bis shawab


       Refrensi :
1.      Ahmad ‘isa ‘asyur, fiqh al-muyassar fil ibadat wal muammalat, hal. 155-157
2.      Abdul ‘azhim bin badawi al-khalafi, al-wajiz, hal. 514
3.      Syaikh muhammad bin ibrohim bin muhammad at-tuwaijiri, ensiklopedi islam al-kamil, hal. 856-857
4.      Al-‘alamah syaikh muhammad bin qosim al-ghazzi, syarhu mutun abi syuja’, hal. 49
5.      Al-jami’ baina shahihaini al-bukhori, juz2, hal. 7[3]






[1] Hadist ini di keluarkan oleh malik, syafi’i, bukhori, muslim, abu daud dan nasa’i
[2] Diriwayatkan dalam shahih bukhori, juz 2 hal 7
[3] Versi maktabah syamilah

0 Comments:

Posting Komentar