السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
oleh : Fitra Hudyya
Dalil-dalil tentang menggambar
Ali bin Abi Thalib
radhiallahu ‘anhu berkata kepada Abul Hayyaj Al-Asadi: “Maukah aku mengutus-mu
dengan apa yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku? (Beliau
mengatakan padaku):
أَلاَّ تَدَع تِمْثَالاً إِلاَّ
طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَه
“Janganlah
engkau membiarkan gambar kecuali engkau hapus dan tidak pula kubur yang
ditinggikan kecuali engkau ratakan.”
Jabir
radhiallahu ‘anhu berkata:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصُّوْرَةِ
فِي الْبَيْتِ وَنَهَى أَنْ يَصْنَعَ ذلِكَ
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
mengambil gambar (makhluk hidup) dan memasukkannya ke dalam rumah dan melarang
untuk membuat yang seperti itu.”
Seseorang
pernah datang menemui Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma. Orang itu berkata: “Aku
bekerja membuat gambar-gambar ini, aku mencari penghasilan dengannya.” Ibnu
‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: “Mendekatlah denganku.” Orang itupun
mendekati Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma. Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma
berkata: “Mendekat lagi.” Orang itu lebih mendekat hingga Ibnu ‘Abbas
radhiallahu ‘anhuma dapat meletakkan tangannya di atas kepala orang tersebut,
lalu berkata: “Aku akan beritakan kepadamu dengan hadits yang pernah aku dengar
dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku mendengar beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ، يَجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ
صُوْرَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسًا فَتُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ
“Semua tukang gambar itu di neraka.
Allah memberi jiwa/ ruh kepada setiap gambar (makhluk hidup) yang pernah ia
gambar (ketika di dunia). Maka gambar-gambar tersebut akan menyiksanya di
neraka Jahannam.”
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata kepada orang tersebut: “Jika kamu memang terpaksa melakukan hal itu (bekerja sebagai tukang gambar) maka buatlah gambar pohon dan benda-benda yang tidak memiliki jiwa/ ruh.”
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata kepada orang tersebut: “Jika kamu memang terpaksa melakukan hal itu (bekerja sebagai tukang gambar) maka buatlah gambar pohon dan benda-benda yang tidak memiliki jiwa/ ruh.”
Menggambar (Tashwir)
Tashwir adalah menggambar bentuk (shurah)
sesuatu. Di antara tashwir adalah membuat patung-patung. Dan
tercakup di dalamnya juga pahatan. Gambar atau patung dinamakan shurah.
Jamaknya shuwar. Di dalam bahasa disebut juga tashawir.
Tercakup di dalamnya tamatsil (patung-patung). Di dalam bahasa
dikatakan tashawir adalah tamatsil.
Menggambar yang dilarang
Syara’ telah mengharamkan menggambar sesuatu yang di dalamnya terdapat
ruh, seperti manusia, binatang dan burung. Sama saja, apakah gambar tersebut
pada kertas, kulit, pakaian, perkakas, perhiasan, uang, atau lainnya. Semuanya
adalah haram. Karena, sekedar menggambar sesuatu yang di dalamnya terdapat ruh
adalah haram, pada barang apa pun gambar ini dibuat. Sedangkan menggambar
sesuatu yang di dalamnya tidak terdapat ruh, maka itu boleh, tidak ada larangan
di dalamnya. Syara’ telah menghalalkan menggambar pohon, gunung, bunga, dan
lainnya yang di dalamnya tidak terdapat ruh.
Pengharaman menggambar sesuatu yang di dalamnya terdapat ruh tetap
dengan nash-nash syar’i. Bukhari mengeluarkan dari hadits Ibnu Abbas, dia
berkata: “Ketika Nabi saw. melihat gambar-gambar yang ada di dalam
Rumah (Ka’bah), beliau tidak masuk sampai memerintahkan untuk menghapusnya.”
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa dia memasang tirai yang padanya terdapat
gambar-gambar. Lalu Rasulullah saw. masuk dan melepasnya. Aisyah berkata: “Lalu
aku memotongnya menjadi dua bantal. Dan beliau dulu bersandar pada keduanya.” (Diriwayatkan
oleh Muslim).
Dalam lafadz Ahmad: “Lalu aku melepasnya dan memotongnya menjadi
dua sandaran (bantal). Sungguh aku telah melihat beliau bersandar pada salah
satu dari keduanya, sedang padanya terdapat gambar.”
Muslim dan Bukhari mengeluarkan dari hadits Aisyah, dia berkata: “Rasulullah
saw. memasuki ruanganku sedang aku telah menutup
sebuah sahwah (semacam rak) milikku dengan qiram yang
padanya terdapat gambar-gambar. Ketika beliau melihatnya, beliau melepaskannya,
sedang wajah beliau telah berwarna (marah). Beliau berkata: “Wahai Aisyah,
manusia yang paling pedih siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang
menyamai penciptaan Allah.” Qiram adalah tabir tipis yang
padanya terdapat warna-warna, atau tabir yang padanya terdapat garis-garis atau
lukisan.
Dalam hadits Muslim, diriwayatkan dari Aisyah, dia berkata: “Rasulullah
tiba dari perjalanan, sedang aku telah menutup pintuku
dengan durnuk yang padanya terdapat kuda yang memiliki sayap. Maka
beliau menyuruhku untuk melepasnya.” Durnuk adalah sejenis
kain.
Bukhari mengeluarkan dari hadits Ibnu Abbas, dia berkata: Rasulullah
saw. bersabda: “Barangsiapa menggambar sebuah gambar, maka Allah akan
mengazabnya dengan gambar tersebut pada hari kiamat, sampai dia meniupkan (ruh)
padanya, pahahal dia tidak dapat meniupkan (ruh).”
Dia juga mengeluarkan melalui Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar-gambar ini akan disiksa pada
hari kiamat. Dikatakan kepada mereka: Hidupkanlah apa yang telah kalian
ciptakan.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa seorang laki-laki mendatanginya lalu
berkata: “Sesungguhnya aku telah menggambar gambar-gambar ini dan
membuat gambar-gambar ini. Maka berilah fatwa padaku tentangnya.” Ibnu Abbas
berkata: “Mendekatlah padaku.” Lalu dia mendekat pada Ibnu Abbas, sampai Ibnu
Abbas meletakkan tangannya di atas kepala laki-laki tersebut. Ibnu Abbas
berkata: “Aku beritahukan kepadamu tentang apa yang aku dengar dari Rasulullah
saw. Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Setiap penggambar ada di dalam
neraka. Kepada setiap gambar yang digambarnya diberikan jiwa. Gambar tersebut
menyiksanya di jahanam. Maka, jika kamu harus menggambar, gambarlah pohon dan
apa yang tidak memiliki jiwa.’”
Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah saw.
bersabda: Jibril as. mendatangiku lalu berkata: “Sesungguhnya aku telah
mendatangiku tadi malam. Dan tidak ada yang menghalangiku untuk memasuki rumah
yang kamu ada di dalamnya kecuali bahwa di dalam rumah tersebut terdapat patung
seorang laki-laki, di dalam rumah tersebut terdapat qiram berupa
tabir yang padanya terdapat gambar-gambar, dan di dalam rumah tersebut terdapat
anjing. Maka perintahkanlah agar kepala patung tersebut dipotong dan dibuat
seperti bentuk pohon, perintahkanlah agar tabir tersebut dipotong dan dijadikan
dua bantal yang diinjak, dan perintahkanlah agar anjing tersebut dikeluarkan.”
Lalu Rasulullah saw. melakukan itu. Dan qiram adalah tabir tipis dari
wool yang memiliki warna.
Bukhari meriwayatkan melalui Abu Juhaifah, bahwa dia membeli seorang
budak ahli bekam, lalu dia berkata: “Sesungguhnya Nabi saw. melarang
harga darah, harga anjing, dan pendapatan pelacur. Dan beliau melaknat pemakan
riba dan orang yang mewakilkannya, pembuat tatto dan orang yang minta
dibuatkan, serta penggambar.”
Hadits-hadits ini secara keseluruhan memuat perintah untuk meninggalkan
menggambar dengan perintah yang tegas. Ini adalah dalil bahwa menggambar adalah
haram. Dan ini umum, mencakup semua gambar. Sama saja, gambar yang memiliki
bayangan atau tidak memiliki bayangan. Dan sama saja, gambar sempurna atau
separuh. Tidak ada perbedaan dalam pengharaman menggambar antara gambar yang
memiliki bayangan dan gambar yang tidak memiliki bayangan, serta antara gambar
sempurna yang mungkin hidup dan gambar separuh yang tidak mungkin hidup.
Semuanya haram, berdasarkan keumuman hadits-hadits di atas. Juga, karena hadits
Ibnu Abbas tentang Rumah menunjukkan bahwa gambar-gambar yang ada di Ka’bah
adalah yang dilukis dan tidak memiliki bayangan. Karena, Rasul tidak
memasukinya sampai gambar-gambar tersebut dihapus. Dan hadits Aisyah
menunjukkan bahwa tabir tersebut padanya terdapat gambar yang tidak memiliki
bayangan.
Diriwayatkan bahwa Nabi saw. mengirim Ali dalam sebuah sariyyah.
Beliau berkata kepadanya: “Janganlah kamu meninggalkan sebuah patung kecuali
kamu hancurkan, tidak pula sebuah gambar kecuali kamu hapus, dan tidak pula
sebuah kuburan yang dimuliakan kecuali kamu ratakan dengan tanah.”
Di sini beliau menyebutkan kedua jenis: yang memiliki bayangan yaitu
patung, dan yang tidak memiliki bayangan yaitu gambar yang dihapus. Jadi,
pembedaan antara yang memiliki bayangan dan yang tidak memiliki bayangan tidak
benar dan tidak memiliki dasar. Juga, karena keberadaan gambar tersebut bisa
hidup atau tidak bisa hidup bukanlah ‘illah pengharaman. Dan
tidak ada dalil yang mengecualikan itu dari pengharaman.
Menggambar yang diperbolehkan
Sedangkan bolehnya menggambar sesuatu yang tidak terdapat ruh di
dalamnya, berupa pohon, gunung, dan lainnya, itu disebabkan karena pengharaman
dalam hadits-hadits yang mengharamkan menggambar dibatasi dengan gambar yang di
dalamnya terdapat ruh. Ini adalah batasan (qaid) yang diakui dan
memiliki mafhum yang diterapkan. Dan mafhumnya
adalah bahwa gambar yang di dalamnya tidak terdapat ruh tidak haram. Benar
bahwa sebagian hadits berbentuk muthlaq (tanpa batasan). Tapi
sebagian yang lain berbentuk muqayyad (memiliki batasan). Dan
kaedah Ushul menyatakan bahwa yang muthlaq disamakan dengan
yang muqayyad. Sehingga, pengharaman hanya berlaku pada gambar yang
di dalamnya terdapat ruh, yaitu manusia, binatang dan burung. Sedangkan selain
itu, tidak haram menggambarnya, tapi boleh.
Di samping itu, pembolehan menggambar sesuatu yang di dalamnya tidak
terdapat ruh, berupa pohon dan lainnya, telah disebutkan dengan jelas dalam
hadits-hadits tersebut. Dalam hadits Abu Hurairah: “Maka perintahkanlah
agar kepala patung tersebut dipotong dan dibuat seperti bentuk pohon.” Ini
berarti bahwa patung pohon tidak apa-apa. Dan dalam hadits Ibnu Abbas: “Maka,
jika kamu harus menggambar, gambarlah pohon dan apa yang tidak memiliki jiwa.”
Hadits-hadits yang mengharamkan menggambar tidak memiliki ‘illah.
Tidak terdapat penjelasan ‘illah menggambar dengan illah apa
pun. Karena itu, janganlah mencari ‘illah untuknya. Sedangkan
apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar berupa perkataan Rasul: “Hidupkanlah
apa yang telah kalian ciptakan”, apa yang terdapat dalam hadits Ibnu Abbas:
“sampai dia meniupkan (ruh) padanya, pahahal dia tidak dapat meniupkan (ruh)”,
dan apa yang terdapat hadits Aisyah tentang gambar: “manusia yang paling
pedih siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menyamai penciptaan
Allah”; semua itu tidak disebutkan sebagai penjelasan ‘illah.
Lafadz-lafadz dan kalimat-kalimat yang ada dalam hadits-hadits ini darinya
tidak dapat dipahami ‘illah. Segala yang terjadi hanyalah bahwa
Rasul menyerupakan menggambar dengan penciptaan, dan para penggambar dengan
Sang Pencipta. Dan penyerupaan (tasybih) bukanlah penjelasan ‘illah dan
tidak bisa menjadi ‘illah. Karena, penyerupaan sesuatu dengan
sesuatu yang lain tidak menjadikan sesuatu yang diserupai (musyabbah bih)
sebagai ‘illah bagi sesuatu yang diserupakan (musyabbah).
Dia hanya menjadi penjelasan baginya. Dan penjelasan bagi sesuatu
bukanlah ‘illah baginya.
Apakah
ada Illatnya?
Dengan demikian, tidak dapat dikatakan bahwa menggambar haram karena di
dalamnya terdapat perbuatan menyamai penciptaan Allah. Karena, Allah Ta’ala
menciptakan manusia, binatang dan burung, serta menciptakan pohon, gunung dan
bunga-bunga. Dengan demikian, ‘illah ini terdapat juga dalam
pohon, gunung, bunga-bunga dan lainnya. Karena, semuanya adalah ciptaan Allah
juga. Sehingga, menggambarnya haram, karena adanya ‘illah di
dalamnya. Dan ‘illah berputar bersama hukum, dari segi ada dan
tidaknya. Padahal, nash-nash menyebutkan pembolehan menggambar pohon dan semua
yang di dalamnya tidak terdapat ruh. Dengan demikian, menggambar manusia dan
binatang haram berdasarkan nash-nash yang mengharamkannya, bukan karena
adanya ‘illah tertentu. Dan menggambar pohon, gunung dan semua
yang di dalamnya tidak terdapat ruh boleh, tidak ada larangan tentangnya, berdasarkan
nash-nash yang membolehkannya.
Hukum Fotografi
Menggambar yang diharamkan oleh Allah Ta’ala adalah melukis, memahat dan
lainnya, yang langsung dilakukan oleh manusia dengan dirinya sendiri. Sedangkan
“menggambar” dengan menggunakan
alat fotografi, tidak termasuk ke dalamnya, dan tidak termasuk menggambar yang
diharamkan, tapi itu mubah. Karena, pada hakekatnya dia bukan
menggambar, tapi memindahkan bayangan dari realita menuju film. Dia bukanlah
menggambar orang yang dilakukan oleh penggambar. Jadi, penggambar dengan alat
fotografi tidak menggambar orang, tapi memantulkan bayangan orang pada film
dengan menggunakan alat. Itu adalah memindahkan bayangan, bukan menggambar;
dengan perantaraan alat, bukan dilakukan langsung oleh penggambar. Sehingga,
itu tidak masuk ke dalam larangan yang terdapat dalam hadits-hadits.
Hadits-hadits mengatakan: “orang-orang yang membuat gambar-gambar ini”,
“Sesungguhnya aku telah menggambar gambar-gambar ini”, “Setiap penggambar”, dan
“para penggambar”. Dan orang yang mengambil gambar orang atau binatang dengan
alat fotografi tidak membuat gambar-gambar ini, dan tidak menggambar. Dia
bukanlah penggambar, tapi alat fotografilah yang memindahkan bayangan ke film.
Dia tidak melakukan sesuatu kecuali menggerakkan alat. Karena itu, dia bukan
penggambar, dan tidak mungkin dialah yang menggambar, tidak dengan satu atau
lain alasan. Dengan demikian, larangan sama sekali tidak mencakupnya.
Selain
itu, menggambar yang disebutkan pengharamannya di dalam hadits-hadits di atas
telah dijelaskan dan dibatasi jenisnya, yaitu yang menyerupai penciptaan dan
yang di dalamnya penggambar menyerupai Sang Pencipta, dari sisi bahwa itu
adalah pengadaan sesuatu. Jadi menggambar di sini berarti mengadakan gambar,
baik dengan melukisnya dari hayalannya atau melukisnya dari aslinya yang ada di
hadapannya. Dalam kedua kondisi ini, dia adalah pengadaan gambar. Karena,
dialah yang di dalamnya terdapat kreasi. Sementara menggambar dengan alat
fotografi tidak masuk jenis ini. Karena, dia bukanlah pengadaan gambar, dan di
dalamnya tidak terdapat kreasi.
Dia
hanyalah memantulkan sesuatu yang ada ke film. Karena itu, dia tidak dianggap
sebagai jenis menggambar yang pengharamannya disebutkan dalam hadits-hadits
tersebut. Hadits-hadits tersebut tidak berlaku padanya, dan dia tidak masuk ke
dalam cakupan hadits-hadits tersebut dalam pengharaman.
Hakekat seni bagi gambar yang dilukis menggunakan tangan dan gambar
fotografi menguatkan itu dengan sangat sempurna. Keduanya adalah dua jenis yang
sama sekali berbeda. Gambar seni adalah gambar yang dilukis dengan tangan. Dan
itu berbeda dengan gambar fotografi dari sisi seni dan dari sisi kreasi. Dari
sini, menggambar dengan alat fotografi adalah boleh, tidak ada larangan di
dalamnya.
Hukum Memiliki Gambar
Ini yang berkaitan dengan menggambar itu sendiri. Sedangkan memiliki
gambar-gambar yang telah digambar, jika itu di tempat yang disediakan untuk
ibadah, seperti masjid, mushala, dan lainnya, maka haram secara pasti. Dasarnya
adalah apa yang disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas bahwa Rasul saw. menolak
untuk memasuki Ka’bah sampai gambar-gambar yang ada padanya dihapus. Ini adalah
perintah yang tegas untuk meninggalkan, sehingga menjadi dalil pengharaman.
Sedangkan
memiliki gambar-gambar tersebut di tempat yang tidak disediakan untuk
beribadah, seperti rumah, perpustakaan, sekolah, dan lainnya, di dalamnya
terdapat perincian dan penjelasan. :
1. Jika
gambar dipasang di tempat yang di dalamnya terdapat penghormatan terhadap
gambar tersebut, maka makruh, tidak haram.
- Jika gambar dipasang di tempat yang di dalamnya tidak terdapat penghormatan terhadap gambar tersebut, maka boleh, tidak apa-apa.
Pemakruhan
di tempat yang di dalamnya terhadap penghormatan terhadapnya adalah berdasarkan
hadits Aisyah bahwa Rasul melepas tabir yang padanya terdapat gambar. Juga
berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwa Jibril menolak untuk memasuki rumah
karena di dalamnya terdapat patung, gambar dan anjing. Sedangkan bahwa
pemakruhan ini khusus bagi gambar yang diletakkan di tempat yang di dalamnya terdapat
penghormatan terhadapnya, dan bahwa tidak apa-apa jika gambar tersebut
diletakkan di tempat yang di dalamnya tidak terdapat penghormatan terhadapnya,
adalah karena hadits Aisyah menyebutkan bahwa Rasul melepas tabir yang padanya
terdapat gambar ketika gambar itu ditegakkan, dan bahwa beliau bersandar pada
bantal yang padanya terdapat gambar. Juga, karena dalam hadits Abu Hurairah,
Jibril berkata kepada Rasul:“perintahkanlah agar tabir tersebut dipotong dan
dijadikan dua bantal yang diinjak”. Ini menunjukkan bahwa larangan mengarah
pada meletakkan gambar di tempat yang di dalamnya terdapat penghormatan
terhadapnya, dan tidak mengarah pada memiliki gambar tersebut.
Sedangkan bahwa meletakkan gambar di tempat yang di dalamnya terdapat
penghormatan terhadapnya adalah makruh bukan haram, adalah disebabkan karena
larangan yang terdapat dalam hadits-hadits tersebut tidak disertai qarinah yang
menunjukkah penegasan, seperti ancaman terhadap orang yang memiliki gambar,
atau celaan terhadapnya, atau semacamnya, sebagaimana yang disebutkan dalam
larangan menggambar. Larangan tersebut hanyalah berupa perintah untuk
meninggalkan. Dan terdapat hadits-hadits lain yang melarang memiliki patung dan
membolehkan memiliki gambar yang dilukis. Ini menjadi qarinah bahwa
larangan tersebut tidak tegas.
Dalam hadits Abu Thalhah milik Muslim diriwayatkan dengan lafadz: “Malaikat
tidak memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing atau gambar.”
Dalam riwayat lain dari jalan yang diriwayatkan oleh Muslim, beliau
bersabda: “Kecuali lukisan di baju”.
Ini
menunjukkan pengecualian gambar yang dilukis di baju. Mafhumnya
adalah bahwa malaikat memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar yang
dilukis di baju. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits-hadits larangan
lainnya, maka dia menjadi qarinah bahwa perintah untuk
meninggalkan di sini tidaklah tegas. Dengan demikian, memiliki gambar di tempat
yang di dalamnya terdapat penghormatan terhadapnya adalah makruh, bukan haram.
Bahan Bacaan :
- Tim Konsultan Ahli Hayatul Islam (TKAHI)
- Taqiyyuddin an-Nabhani, Kepribadian Islam – Jilid II, bab Tashwir. Terjemah : Rizki S Saputro.
- Tafsir Ayatul ahkam, syaikh Muhammad Ali as-Shabuni.
CATATAN:
1.
Sekali lagi kami katakan bahwa ini adalah
masalah khilafiyah di antara ulama
2.
Sebagian mereka ada yang mengharamkan secara
muthlak
3.
Untuk jalan yang lebih selamat adalah
menghindari sebisa mungkin atau tidak menggunakan kecuali penting atau ada
keperluan
4.
Ini semua masalah ijtihadi . kita harus selektif mungkin menilai ulama.
Wallaahu
A’lam.
Wassalaamu’alaikum.
0 Comments:
Posting Komentar