Kaedah
Pertama; Barang siapa menampakkan keimanan, yakni
dengan mengikrarkan dua kalimat syahadat atau seseorang yang lahir di
tengah-tengah keluarga muslim atau sejak kecil diasuh oleh keluarga muslim, dan
dia tidak mendatangkan sesuatu yang membatalkan iman, maka ia dihukumi sebagai
seorang muslim.
Kaedah
Kedua; secara bahasa iman bermakna tashdiq,
dan secara syar’i iman bermakna membenarkan semua yang dibawa oleh Rasul Shallallahu
alaihi wa sallam dari sisi Allah Azza wa jalla dengan disertai
penerimaan dan ketundukan pada semua itu.
Kaedah
ketiga; iman meliputi qaul (perkataan) dan amal
(perbuatan). Yang dimaksud dengan qaul adalah ucapan dengan lisan.
Kesaksian bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad Shallallahu
alaihi wa sallam adalah utusan Allah. Juga meyakini itu dalam hati. Yang
dimaksud dengan amal adalah amal hati, lisan, dan anggota badan. Yang termasuk
amal hati adalah ikhlas, mahabbah (cinta), ridha, tawakkal, khauf
(takut kepada siksa Allah), raja’ (mengharap pahala dari Allah), dan
lain sebagainya.
Yang termasuk
amal lisan adalah bertasbih, beristighfar, mengucapkan salam kepada saudara
muslim, amar ma’ruf nahy mungkar, menasehati, berdakwah, dan lainnya.
Yang termasuk
amal anggota badan adalah shalat, jihad, haji, umrah, sedekah, berbakti kepada
orang tua, silaturahim (mengunjungi sanak saudara), berbuat baik kepada
tetangga, dan lain sebagainya.
Kaedah
Keempat; iman bisa bertambah dan bisa pula berkurang.
Imam Ibnu Abdil Barr, “Jama’ah Ahli Atsar, Ahli Fiqih, dan Ahli Fatwa di
berbagai kota sepakat bahwa iman bisa bertambah dan bisa berkurang.”[1]
Mu’adz pernah
berkata, “Mari duduk sejenak untuk menambah iman.”
Kaedah
Kelima; orang-orang beriman bertingkat-tingkat
keimanannya. Iman para Rasul tidaklah seperti iman orang-orang pada umumnya.
Bahkan iman orang-orang pada umumnya pun bertingkat-tingkat dengan tingkatan
yang sangat beragam.[2]
Kaedah
Keenam; seorang hamba tidak keluar dari iman kecuali
dengan menolak apa yang dikategorikan sebagai iman. Allah telah menetapkan satu
pintu menuju iman. Pintu itu adalah syahadat bahwa tidak ada yang berhak
diibadahi selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Siapa yang masuk
dari pintu ini, dia hanya akan keluar dari pintu ini pula.
Maka perkataan
atau perbuatan apapun yang tidak menunjukkan pembatalan terhadap ikrar ini,
hanya dengan mengatakannya atau melakukannya tidak akan membatalkan iman.
Berzina, mencuri, minum arak dan berbagai kemaksiatan lainnya yang muncul
karena mengikuti hawa nafsu, jika pelakunya tidak menyatakan kehalalannya,
perbuatan-perbuatan itu tidak membatalkan iman.
Sedangkan
mempermainkan syariat, mencela agama, mengingkari suatu yang sudah sangat jelas
dari agama ini, menghalalkan dosa-dosa besar, atau menolak sesuatu yang
diwajibkan oleh Allah Azza wa jalla, adalah dosa yang menunjukkan pembatalan
atas ikrar tersebut. Perbuatan-perbuatan ini adalah Mukaffirah
(menyebabkan kafir) dan membatalkan pokok iman.
Diantara pembatal iman kembali pada sepuluh
hal;
1.
Syirik dalam mengibadahi Allah,
2.
mengadakan perantara antara dia dan Allah,
3.
tidak mengkafirkan orang musyrik, ragu
terhadap kekafiran mereka dan membenarkan madzhab mereka, 4. Meyakini ada
petunjuk dan hokum yang lebih baik dari apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam,
4.
Membenci ajaran yang dibawa oleh Rasul,
5.
Memperolok-olok ajaran Rasul,
6.
Sihir,
7.
Menolong kaum musyrikin untuk memerangi kaum
muslimin,
8.
9.Meyakini bahwa ada sebagian manusia ada ang
boleh keluar daari syariat Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam,
9.
10. Berpaling, tidak mempelajari dan
mengamalkan Islam.
Kaedah
Ketujuh; terkadang syari’ (Allah dan Rasul-Nya)
menyebut kufur, namun maksudnya bukan kufur akbar yang mengeluarkan pelakunya
dari agama dan mengekalkan di neraka.
Dalam tafsirnya, Al Qasimi menulis,
“Jika di dalam hadits ditemukan ungkapan, ‘Barang siapa melakukan ini, maka dia
telah musyrik atau kafir,’ maka maksudnya bukanlah kekafiran yang mengeluarkan
yang mengeluarkan daari agama dan syirik akbar yang mengeluarkan darai islam;
yang hukum-hukum murtad berlaku atas orang yang melakukannya. Na’udzu billah.
Al Bukhari telah
membuat satu bab, ‘Bab: Dua kekafiran, kekafiran kepada pasangan dan kekafiran
di bawah kekafiran’.” (Mahasinut
Ta’wil, V/1307.)
Kaedah
Kedelapan; iman terdiri dari tujuh puluh atau enam
puluh sekian cabang; yang tertinggi adalah ucapan La ilaaha illallah,
dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan daari jalan.
Kaedah
Kesembilan; pada diri seseorang bisa saja terkumpul kekafiran
dan keimanan, kemusyrikan dan tauhid, serta takwa dan dosa.
Ibnul Qayyim
menulis, “Ini adalah salah satu prinsip ahlus sunnah wal jama’ah yang agung.
Dari kaedah ini diambil kesimpulan, seorang mukmin itu bisa dicintai sekaligus
dibenci. Dia dicintai sesuai kadar ketaatan dan keimanan yang ada padanya serta
sejauh mana mia mengikuti sunnah. Dan dia dibenci dengan kebalikannya.” (Lihat: QS. Yusuf (12): 106
& Ali Imran (3): 167)
Kaedah
Kesepuluh; Islam dimanifestasikan dengan ketundukkan
lahir dan pelaksanaan syiar-syiar Islam, sedangkan iman dimanifestasikan dengan
ketundukkan batin.
0 Comments:
Posting Komentar