Senin, 22 Desember 2014

VIRUS MEMATIKAN THOLABUL ‘ILMI



VIRUS MEMATIKAN THOLABUL ‘ILMI
Mencari ilmu merupakan kewajiban bagi seorang mukmin mukallaf. Sebab, tanpa ilmu hidup manusia tidak akan terarah sebagaimana tujuan diciptakannya. Kehidupan mereka layaknya binatang atau bahkan bisa lebih sesat lagi. Al Hasan Al Bashri mengatakan,” Kalaulah bukan karena ilmu, sungguh manusia itu layaknya binatang.”
Alloh Ta’ala berfirman: 
أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُون
Mereka (orang-orang kafir) layaknya binatang ternak bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS’Al-‘araf:179)
           

Para ulama’ sepakat bahwa orang-orang kafir adalah orang-orang yang bodoh. Karena kebodohannya itu kehidupan mereka layaknya binatang. Karena itulah islam menuntut para pemeluknya untuk menuntut ilmu. Dalam Islam menuntut ilmu merupakan ibadah yang paling utama. Imam Asy Syafi’i mengatakan,” Tidak ada amalan yang lebih utama setelah amalan-amalan fardhu dari pada menuntut ilmu. Karena ilmu adalah nur yang dengannya seorang yang bingung mendapat petunjuk.”
 Seorang muslim adalah seorang yang terarah hidupnya, tidak sebagaimana orang kafir yang menjadikan hidup hanya untuk bersenang-senang.

Alloh Ta’ala menceritakan kehidupan orang kafir dalam firman-Nya:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَّهُم
Dan orang-orang yang kafir menikmati kesenangan (dunia) dan mereka makan seperti hewan makan, dan (kelak) nerakalah tempat tinggal bagi mereka.”    (Qs.Muhammad:12)

Seorang muslim harus memahami pentingnya menuntut ilmu. Hanya saja, dalam menuntut ilmu ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Diantaranya adalah hal-hal yang menjadi penghalang memperoleh ilmu. Sebab, dalam perjalanan menuntut ilmu seseorang akan menghadapi berbagai persoalan, baik internal maupun eksternal. Persoalan internal sering bersinggungan dengan virus-virus tholabul ilmi . Diantaranya adalah sifat sombong, malu bertanya dan bermalas-malasan.

SOMBONG
Sebelumnya, kita perlu memahami makna sombong terlebih dahulu. Rasululloh sholallohu ‘alahi wa sallam telah menjelaskan dalam sabda beliau;
ولكن الكبر من بطر الحق وغمص الناس
“Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR.Tirmidzi)

Dari sini kita dapat mengambil pelajaran bahwa orang yang sulit menerima kebenaran akan sulit pula mencari ilmu. Begitu juga dengan seorang yang suka merendahkan orang lain. Bagaimana mungkin ia mendapat ilmu sedangkan ia meremehkan orang alim. Karena itulah Imam mujahid mengatakan, ”Tidak akan mempelajari ilmu seorang yang  pemalu dan sombong.”

Sombong merupakan sifat yang diwariskan iblis untuk para walinya. Alloh Ta’ala telah mensifati iblis dengan sombong dalam firman-Nya;
قَالَ فَاهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَن تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَاخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ الصَّاغِرِينَ
“(Alloh) berfirman, “Maka turunlah kamu darinya (surga), karena kamu tidak sepatutnya sombong didalamnya. Keluarlah ! Sesungguhnya kamu termasuk makhluk yang hina.“ (QS.Al-A’raf:13)

Tidak sepantasnya seorang penuntut ilmu berakhlaq sebagaimana akhlak iblis. Sebab, penuntut ilmu  yang sombong tidak akan mendapat hakikat ilmu, kalaulah ia mendapatkan ilmu, ilmu  itu tidak  akan membawa barokah. Lalu dimanakah barokah ilmu ?, jawabnya, sudah terhapus dengan kesombongannya itu.

Barokah atau tidaknya ilmu seseorang bisa dilihat dari perilaku. Apabila ia semakin bertakwa dengan tambahnya ilmu maka ilmunya berbarokah. Namun jika tidak ada perubahan baik pada dirinya maka ilmunya belum membawa barokah. Sebagaimana iblis tatkala diperintah untuk sujud kepada Adam ‘alahi salam, ia memilki ilmu bahwa hanya kepada Alloh-lah ia bersujud. Tapi ia sombong dan menolak perintah Alloh, sehingga ia terlaknat hingga hari kiamat. Na’udzu billah min dzalik

MALU BERTANYA
Bertanya merupakan kunci penting untuk memperoleh pemahaman. Dr. Anas Ahmad Karzun mengatakan, ”Seorang penuntut ilmu sering menghadapi berbagai permasalahan yang sering membuatnya ragu dan bingung. Maka yang wajib ia lakukan adalah menanyakannya kepada ulama’, serta meminta bimbingan mereka dengan penuh adab dan ketawadhu’an. Aloh Ta’ala berfiman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah terhadap orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. “(QS. An-Nahl:43)

Ilmu itu bagaikan gudang yang terkadang hanya bisa dibuka dengan kunci bertanya. Apabila tidak mempunyai kunci tentu tidak dapat membuka gudang. Aisyah rodhiyallohu ‘anha berkata, ”Semoga Alloh merahmati wanita-wanita Anshor, rasa malu tidak menghalangi mereka untuk bertanya tentang urusan agama mereka.

Perkataan Aisyah rodhiyallohu ‘anha terbukti kebenarannya, sebagaimana diriwayatkan dari Ummu Salamah ia berkata, “Ummu sulaim (istri Abu Tholhah) mendatangi Rasululloh Sollallohu ‘alaihi wa sallam, lalu bertanya ‘Wahai Rasululloh ! Sesungguhnya Alloh tidak malu dari yang haq. Apakah seorang perempuan wajib mandi jika ia mimpi basah ? ‘. Rosululloh sollallohu ‘alaihi wa sallam menjawab;’ Ya, jika ia melihat air.”  (HR.Bukhori)

Rasululloh sollallohu ‘alaihi wa sallam mencela sebagian sahabat beliau yang tidak bertanya sebelum berfatwa, padahal mereka tidak tahu kebenaran fatwa mereka. Abdullah bin Abbas radhiyallohu’anhu meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang terluka kepalanya ketika safar. Kemudian ia junub dan dikatakan kepadanya;’ Kami tidak mendapatkan rukhsah (keringanan) bagimu.’ Maka ia-pun mandi lalu meninggal. Tatkala hal itu dikabarkan kepada Rasululloh sollallohu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:’ Mereka telah membunuhnya, semoga Alloh membunuh mereka. Kenapa mereka tidak bertanya jika mereka tidak tahu?. Karena obat tidak faham hanyalah bertanya.” (Hr. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
 
Dari sini dapat kita simpulkan, malu dalam masalah ilmu tidak dianjurkan syar’i, bahkan kita diperintah untuk bertanya dalam perkara dien yang masih janggal bagi kita. Bisa jadi seorang yang malu bertanya akan sulit memahami sesuatu. Maka tidak salah jika peribahasa mengatakan “Malu bertanya sesat di jalan.”

BERMALAS – MALASAN
Seorang muslim hendaknya selalu bersemangat untuk mencari dan menambah ilmu. Disamping itu, sangat dianjurkan untuk berdo’a dengan do’a yang Alloh ajarkan kepada Rosul-NYA. Yaitu dalam firman-Nya:
 وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا
 “Dan katakanlah, “Wahai Robbku, tambahkanlah ilmu  kepadaku”. (QS.Thoha:114)

Yahya bin Abi katsir berkata, “ilmu itu tidak bisa diperoleh dengan tubuh yang bermalas-malasan.” Tanpa kesungguhan seseorang akan sulit menuntut ilmu, terlebih jika hal itu dilakukan secara terus menerus. Maka, semangat dan kesungguhan sangat berpengaruh dalam tholabul ilmi.

Al-Junaid mengatakan ,” Tidaklah seseorang mencari sesuatu dengan sungguh-sungguh dan jujur kecuali ia pasti memperolehnya. Jika ia tidak memperoleh seluruhnya, ia akan memperoleh sebagiannya.” Seorang penuntut ilmu harus kuat bersusah payah, begadang siang dan malam, serta perjalanan jauh hanya untuk menuntut ilmu. Jika tidak demikian, memperoleh ilmu hanyalah angan-angan saja, sebagaimana orang yang memimpikan naik perahu di daratan.

Imam An-Nawawi berkata, ”Termasuk adab-adab penting baginya (penuntut ilmu) adalah semangat menggebu dalam menuntut ilmu, giat, dan rajin belajar pada setiap saat yang memungkinkannya untuk belajar. Ia tidak boleh merasa puas dengan ilmunya yang sedikit jika mungkin mendapatkan ilmu yang banyak. Kendati demikian, ia tidak boleh memaksakan diri untuk mencapai ilmu yang terlalu tinggi yang melewati kemampuan dirinya. Sebab boleh jadi hal itu akan menimbulkan kebosanan, bahkan merusak ilmu yang telah dicapainya.”

Hanya orang yang kurang akal saja yang malas dan puas dengan ilmu yang sedikit. Seorang penuntut ilmu yang malas hanya akan menyia-siakan waktu, yang akhirnya ia gagal mendapatkan ilmu yang mumpuni. Seorang tholibul 'ilmi harus menjauhi sifat-sifat tercela ini, karena akan menjadi penghalang untuk ber-tafaqquh fid dien. Dan menjadi penghalang pula untuk memahami dien yang kaffah. Wallohul musta’an  

Created By: Mu’izz Abu Turob, mahasiswa Ma’had Aly Al-Islam, bekasi.

0 Comments:

Posting Komentar