Mencari
ilmu merupakan kewajiban bagi seorang mukmin mukallaf. Sebab, tanpa ilmu hidup
manusia tidak akan terarah sebagaimana tujuan diciptakannya. Kehidupan mereka
layaknya binatang atau bahkan bisa lebih sesat lagi. Al Hasan Al Bashri
mengatakan,” Kalaulah bukan karena ilmu, sungguh manusia itu layaknya
binatang.”
Alloh
Ta’ala berfirman:
أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُون
“Mereka
(orang-orang kafir) layaknya binatang ternak bahkan lebih sesat lagi. Mereka
itulah orang-orang yang lalai.” (QS’Al-‘araf:179)
Para
ulama’ sepakat bahwa orang-orang kafir adalah orang-orang yang bodoh. Karena
kebodohannya itu kehidupan mereka layaknya binatang. Karena itulah islam menuntut
para pemeluknya untuk menuntut ilmu. Dalam Islam menuntut ilmu merupakan ibadah
yang paling utama. Imam Asy Syafi’i mengatakan,” Tidak ada amalan yang lebih
utama setelah amalan-amalan fardhu dari pada menuntut ilmu. Karena ilmu adalah
nur yang dengannya seorang yang bingung mendapat petunjuk.”
Seorang muslim adalah seorang yang terarah
hidupnya, tidak sebagaimana orang kafir yang menjadikan hidup hanya untuk
bersenang-senang.
Alloh
Ta’ala menceritakan kehidupan orang kafir dalam firman-Nya:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا
تَأْكُلُ الأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَّهُم
“Dan orang-orang yang kafir
menikmati kesenangan (dunia) dan mereka makan seperti hewan makan, dan (kelak)
nerakalah tempat tinggal bagi mereka.” (Qs.Muhammad:12)
Seorang
muslim harus memahami pentingnya menuntut ilmu. Hanya saja, dalam menuntut ilmu
ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Diantaranya adalah hal-hal yang
menjadi penghalang memperoleh ilmu. Sebab, dalam perjalanan menuntut ilmu
seseorang akan menghadapi berbagai persoalan, baik internal maupun eksternal.
Persoalan internal sering bersinggungan dengan virus-virus tholabul ilmi . Diantaranya
adalah sifat sombong, malu bertanya dan bermalas-malasan.
SOMBONG
Sebelumnya,
kita perlu memahami makna sombong terlebih dahulu. Rasululloh sholallohu
‘alahi wa sallam telah menjelaskan dalam sabda beliau;
ولكن الكبر من بطر
الحق وغمص الناس
“Sombong
adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR.Tirmidzi)
Dari
sini kita dapat mengambil pelajaran bahwa orang yang sulit menerima kebenaran
akan sulit pula mencari ilmu. Begitu juga dengan seorang yang suka merendahkan
orang lain. Bagaimana mungkin ia mendapat ilmu sedangkan ia meremehkan orang alim.
Karena itulah Imam mujahid mengatakan, ”Tidak akan mempelajari ilmu seorang
yang pemalu dan sombong.”
Sombong
merupakan sifat yang diwariskan iblis untuk para walinya. Alloh Ta’ala telah
mensifati iblis dengan sombong dalam firman-Nya;
قَالَ فَاهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَن تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَاخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ الصَّاغِرِينَ
“(Alloh)
berfirman, “Maka turunlah kamu darinya (surga), karena kamu tidak sepatutnya
sombong didalamnya. Keluarlah ! Sesungguhnya kamu termasuk makhluk yang hina.“ (QS.Al-A’raf:13)
Tidak
sepantasnya seorang penuntut ilmu berakhlaq sebagaimana akhlak iblis. Sebab,
penuntut ilmu yang sombong tidak akan
mendapat hakikat ilmu, kalaulah ia mendapatkan ilmu, ilmu itu tidak
akan membawa barokah. Lalu dimanakah barokah ilmu ?, jawabnya, sudah
terhapus dengan kesombongannya itu.
Barokah
atau tidaknya ilmu seseorang bisa dilihat dari perilaku. Apabila ia semakin
bertakwa dengan tambahnya ilmu maka ilmunya berbarokah. Namun jika tidak ada
perubahan baik pada dirinya maka ilmunya belum membawa barokah. Sebagaimana iblis
tatkala diperintah untuk sujud kepada Adam ‘alahi salam, ia memilki ilmu
bahwa hanya kepada Alloh-lah ia bersujud. Tapi ia sombong dan menolak perintah
Alloh, sehingga ia terlaknat hingga hari kiamat. Na’udzu billah min dzalik
MALU
BERTANYA
Bertanya
merupakan kunci penting untuk memperoleh pemahaman. Dr. Anas Ahmad Karzun
mengatakan, ”Seorang penuntut ilmu sering menghadapi berbagai permasalahan yang
sering membuatnya ragu dan bingung. Maka yang wajib ia lakukan adalah
menanyakannya kepada ulama’, serta meminta bimbingan mereka dengan penuh adab
dan ketawadhu’an. Aloh Ta’ala berfiman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah
terhadap orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. “(QS.
An-Nahl:43)
Ilmu
itu bagaikan gudang yang terkadang hanya bisa dibuka dengan kunci bertanya.
Apabila tidak mempunyai kunci tentu tidak dapat membuka gudang. Aisyah rodhiyallohu
‘anha berkata, ”Semoga Alloh merahmati wanita-wanita Anshor, rasa malu
tidak menghalangi mereka untuk bertanya tentang urusan agama mereka.
Perkataan
Aisyah rodhiyallohu ‘anha terbukti kebenarannya, sebagaimana diriwayatkan dari
Ummu Salamah ia berkata, “Ummu sulaim (istri Abu Tholhah) mendatangi Rasululloh
Sollallohu ‘alaihi wa sallam, lalu bertanya ‘Wahai Rasululloh !
Sesungguhnya Alloh tidak malu dari yang haq. Apakah seorang perempuan wajib
mandi jika ia mimpi basah ? ‘. Rosululloh sollallohu ‘alaihi wa sallam
menjawab;’ Ya, jika ia melihat air.” (HR.Bukhori)
Rasululloh
sollallohu ‘alaihi wa sallam mencela sebagian sahabat beliau yang tidak
bertanya sebelum berfatwa, padahal mereka tidak tahu kebenaran fatwa mereka.
Abdullah bin Abbas radhiyallohu’anhu meriwayatkan bahwa ada seorang
laki-laki yang terluka kepalanya ketika safar. Kemudian ia junub dan dikatakan
kepadanya;’ Kami tidak mendapatkan rukhsah (keringanan) bagimu.’ Maka ia-pun
mandi lalu meninggal. Tatkala hal itu dikabarkan kepada Rasululloh sollallohu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:’ Mereka telah membunuhnya, semoga Alloh
membunuh mereka. Kenapa mereka tidak bertanya jika mereka tidak tahu?. Karena
obat tidak faham hanyalah bertanya.” (Hr. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Dari
sini dapat kita simpulkan, malu dalam masalah ilmu tidak dianjurkan syar’i,
bahkan kita diperintah untuk bertanya dalam perkara dien yang masih janggal
bagi kita. Bisa jadi seorang yang malu bertanya akan sulit memahami sesuatu.
Maka tidak salah jika peribahasa mengatakan “Malu bertanya sesat di jalan.”
BERMALAS
– MALASAN
Seorang
muslim hendaknya selalu bersemangat untuk mencari dan menambah ilmu. Disamping
itu, sangat dianjurkan untuk berdo’a dengan do’a yang Alloh ajarkan kepada Rosul-NYA.
Yaitu dalam firman-Nya:
وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah, “Wahai Robbku, tambahkanlah ilmu kepadaku”. (QS.Thoha:114)
Yahya
bin Abi katsir berkata, “ilmu itu tidak bisa diperoleh dengan tubuh yang
bermalas-malasan.” Tanpa kesungguhan seseorang akan sulit menuntut ilmu,
terlebih jika hal itu dilakukan secara terus menerus. Maka, semangat dan
kesungguhan sangat berpengaruh dalam tholabul ilmi.
Al-Junaid
mengatakan ,” Tidaklah seseorang mencari sesuatu dengan sungguh-sungguh dan
jujur kecuali ia pasti memperolehnya. Jika ia tidak memperoleh seluruhnya, ia
akan memperoleh sebagiannya.” Seorang penuntut ilmu harus kuat bersusah payah,
begadang siang dan malam, serta perjalanan jauh hanya untuk menuntut ilmu. Jika
tidak demikian, memperoleh ilmu hanyalah angan-angan saja, sebagaimana orang yang
memimpikan naik perahu di daratan.
Imam
An-Nawawi berkata, ”Termasuk adab-adab penting baginya (penuntut ilmu) adalah
semangat menggebu dalam menuntut ilmu, giat, dan rajin belajar pada setiap saat
yang memungkinkannya untuk belajar. Ia tidak boleh merasa puas dengan ilmunya
yang sedikit jika mungkin mendapatkan ilmu yang banyak. Kendati demikian, ia
tidak boleh memaksakan diri untuk mencapai ilmu yang terlalu tinggi yang
melewati kemampuan dirinya. Sebab boleh jadi hal itu akan menimbulkan
kebosanan, bahkan merusak ilmu yang telah dicapainya.”
Hanya
orang yang kurang akal saja yang malas dan puas dengan ilmu yang sedikit.
Seorang penuntut ilmu yang malas hanya akan menyia-siakan waktu, yang akhirnya
ia gagal mendapatkan ilmu yang mumpuni. Seorang tholibul 'ilmi harus menjauhi
sifat-sifat tercela ini, karena akan menjadi penghalang untuk ber-tafaqquh fid dien.
Dan menjadi penghalang pula untuk memahami dien yang kaffah. Wallohul musta’an
Created
By: Mu’izz Abu Turob, mahasiswa Ma’had Aly Al-Islam, bekasi.
0 Comments:
Posting Komentar