TAFSIR BASMALAH
Oleh : Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Firman Allah : “Bismillahirrahmaanirrahiim.”
“Artinya : Dengan
menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
Jar
majrur (bi ismi) di awal ayat berkaitan dengan kata kerja yang tersembunyi
setelahnya sesuai dengan jenis aktifitas yang sedang dikerjakan. Misalnya anda
membaca basmalah ketika hendak makan, maka takdir kalimatnya adalah : “Dengan
menyebut nama Allah aku makan”.
Kita
katakan (dalam kaidah bahasa Arab) bahwa jar majrur harus memiliki kaitan
dengan kata yang tersembunyi setelahnya, karena keduanya adalah ma’mul. Sedang
setiap ma’mul harus memiliki ‘amil.
Ada dua fungsi
mengapa kita letakkan kata kerja yang tersembunyi itu di belakang:
1. Tabarruk (mengharap berkah) dengan
mendahulukan asma Allah Azza wa Jalla.
2. Pembatasan maksud, karena meletakkan
‘amil dibelakang berfungsi membatasi makna. Seolah engkau berkata : “Aku tidak
makan dengan menyebut nama siapapun untuk mengharap berkah dengannya dan untuk
meminta pertolongan darinya selain nama Allah Azza wa Jalla”.
Kata
tersembunyi itu kita ambil dari kata kerja ‘amal (dalam istilah nahwu) itu pada
asalnya adalah kata kerja. Ahli nahwu tentu sudah mengetahui masalah ini. Oleh
karena itulah kata benda tidak bisa menjadi ‘ami’l kecuali apabila telah
memenuhi syarat-syarat tertentu.
Lalu
mengapa kita katakan : “Kata kerja setelahnya disesuaikan dengan jenis
pekerjaan yang sedang dikerjakan”, karena lebih tepat kepada yang dimaksud.
Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Barangsiapa
yang belum menyembelih, maka jika menyembelih hendaklah ia menyembelih dengan
menyebut nama Allah “[1] Atau : “Hendaklah ia menyembelih atas nama Allah” [2]
Kata kerja, yakni
‘menyembelih’, disebutkan secara khusus disitu.
Lafzhul Jalalah (Allah).
Merupakan nama
bagi Allah Rabbul Alamin, selain Allah tidak boleh diberi nama denganNya. Nama
‘Allah’ merupakan asal, adapun nama-nama Allah selainnya adalah tabi’ (cabang
darinya).
Ar-Rahmaan
Yakni yang
memiliki kasih sayang yang maha luas. Oleh sebab itu, disebutkan dalam wazan
fa’laan, yang menunjukkan keluasannya.
Ar-Rahiim
Yakni yang
mencurahkan kasih sayang kepada hamba-hamba yang dikehendakiNya. Oleh sebab
itu, disebutkan dalam wazan fa’iil, yang menunjukkan telah terlaksananya curahan
kasih saying tersebut. Di sini ada dua penunjukan kasih sayang, yaitu kasih
sayang merupakan sifat Allah, seperti yang terkandung dalam nama ‘Ar-Rahmaan’
dan kasih sayang yang merupakan perbuatan Allah, yakni mencurahkan kasih sayang
kepada orang-orang yang disayangiNya, seperti yang terkandung dalam nama
‘Ar-Rahiim’. Jadi, Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiiim adalah dua Asma’ Allah yang
menunjukkan Dzat, sifat kasih sayang dan pengaruhnya, yaitu hikmah yang
merupakan konsekuensi dari sifat ini.
Kasih
sayang yang Allah tetapkan bagi diriNya bersifat hakiki berdasarkan dalil wahyu
dan akal sehat. Adapun dalil wahyu, seperti yang telah ditetapkan dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang penetapan sifat Ar-Rahmah (kasih sayang) bagi
Allah, dan itu banyak sekali. Adapun dalil akal sehat, seluruh nikmat yang kita
terima dan musibah yang terhindar dari kita merupakan salah satu bukti curahan
kasih sayang Allah kepada kita.
Sebagian
orang mengingkari sifat kasih sayang Allah yang hakiki ini. Mereka mengartikan
kasih sayang di sini dengan pemberian nikmat atau kehendak memberi nikmat atau
kehendak memberi nikmat. Menurut akal mereka mustahil Allah memiliki sifat
kasih sayang. Mereka berkata : “Alasannya, sifat kasih sayang menunjukkan
adanya kecondongan, kelemahan, ketundukan dan kelunakan. Dan semua itu tidak
layak bagi Allah”.
Bantahan terhadap mereka dari dua sisi.
1. Kasih sayang itu tidak selalu disertai
ketundukan, rasa iba dan kelemahan. Kita lihat raja-raja yang kuat, mereka
memiliki kasih sayang tanpa disertai hal itu semua.
2. Kalaupun hal-hal tersebut merupakan
konsekuensi sifat kasih sayang, maka hanya berlaku pada sifat kasih sayang yang
dimiliki makhluk. Adapun sifat kasih sayang yang dimiliki Al-Khaliq Subhanahu
wa Ta’ala adalah yang sesuai dengan kemahaagungan, kemahabesaran dan
kekuasanNya. Sifat yang tidak akan berkonsekuensi negative dan cela sama
sekali.
Kemudian kita
katakan kepada mereka : Sesungguhnya akal sehat telah menunjukkan adanya sifat
kasih sayang yang hakiki bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pemandangan yang
sering kita saksikan pada makhluk hidup, berupa kasih sayang di antara mereka,
jelas menunjukkan adanya kasih sayang Allah. Karena kasih sayang merupakan
sifat yang sempurna. Dan Allah lebih berhak memiliki sifat yang sempurna.
Kemudian sering juga kita saksikan kasih sayang Allah secara khusus, misalnya
turunnya hujan, berakhirnya masa paceklik dan lain sebagainya yang menunjukkan
kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Lucunya,
orang-orang yang mengingkari sifat kasih sayang Allah yang hakiki dengan alasan
tidak dapat diterima akal atau mustahil menurut akal, justru menetapkan sifat
iradah (berkehendak) yang hakiki dengan argumentasi akal yang lebih samar
daripada argumentasi akal dalam menetapkan sifat kasih sayang bagi Allah.
Mereka berkata : “Keistimewaan yang diberikan kepada sebagian makhluk yang
membedakannya dengan yang lain menurut akal menunjukkan sifat iradah”. Tidak
syak lagi hal itu benar. Akan tetapi hal tersebut lebih samar disbanding dengan
tanda-tanda adanya kasih sayang Allah. Karena hal tersebut hanya dapat
diketahui oleh orang-orang yang pintar. Adapun tanda-tanda kasih sayang Allah
dapat diketahui oleh semua orang, tidak terkecuali orang awam. Jika anda
bertanya kepada seorang awam tentang hujan yang turun tadi malam : “Berkat
siapakah turunnya hujan tadi malam ?” Ia pasti menjawab : “berkat karunia Allah
dan rahmatNya”
MASALAH
Apakah basmalah termasuk ayat dalam surat
Al-Fatihah ataukah bukan ?
Dalam
masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa basmalah
termasuk ayat dalam surat Al-Fatihah, harus dibaca jahr (dikeraskan bacaannya)
dalam shalat dan berpendapat tidak sah shalat tanpa membaca basmalah, sebab
masih termasuk dalam surat Al-Fatihah.
Sebagian
ulama lain berpendapat, basmalah tidak termasuk dalam surat Al-Fatihah. Namun
ayat yang berdiri sendiri dalam Al-Qur’an.
Inilah
pendapat yang benar. Pendapat ini berdasarkan nash dan rangkaian ayat dalam
surat ini.
Adapun
dasar di dalam nash, telah diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Aku
membagi shalat (yakni surat Al-Fatihah) menjadi dua bagian, separuh untuk-Ku
dan separuh untuk hamba-Ku. Apabila ia membaca : “Segala puji bagi Allah”. Maka
Allah menjawab : “Hamba-Ku telah memuji-Ku”. Apabila ia membaca : “Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang”. Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah menyanjung-Ku”.
Apabila ia membaca : “Penguasa hari pembalasan”. Maka Allah menjawab :
“Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku”. Apabila ia membaca : “ Hanya Engkaulah yang
kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”. Maka Allah
menjawab : “Ini separoh untuk-Ku dan separoh untuk hamba-Ku”. Apabila ia
membaca : “Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus”. Maka Allah menjawab : “Ini
untuk hamba-Ku, akan Aku kabulkan apa yang ia minta” [3]
Ini
semacam penegasan bahwa basmalah bukan termasuk dalam surat Al-Fatihah. Dalam
kitab Ash-Shahih diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyalahu ‘anhu, ia berkata
: “Aku pernah shalat malam bermakmum di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu ‘anhum. Mereka semua membuka
shalat dengan membaca : “Alhamdulillaahi Rabbil ‘Aalamin” dan tidak membaca ;
‘Bismillaahirrahmaanirrahiim” di awal bacaan maupun di akhirnya. [4]
Maksudnya mereka tidak mengeraskan bacaannya.
Membedakan antara basmalah dengan hamdalah dalam hal dikeraskan dan tidaknya
menunjukkan bahwa basmalah tidak termasuk dalam surat Al-Fatihah.
[Disalin dari kitab Tafsir Juz ‘Amma, edisi
Indonesia Tafsir Juz ‘Amma, penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin,
penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari, penerbit At-Tibyan – Solo]
________
Foot Note
1. Hadits riwayat Al-Bukhari, dalam kitab
Al-Idain, bab : Ucapan Imam dan makmum ketika khutbah ‘ied, no. (985).
Diriwayatkan pula oleh Muslim dalam kitab Al-Adhahi, bab : Waktu Udhiyah no.
(1), (1960)
2. Hadits riwayat Al-Bukhari dalam kitab
Adz-Dzabaih wa Ash-Shaid, bab : Sabda Nabi, “Sembelihlah dengan menyebut asma
Allah”. no. (5500). Diriwayatkan pula oleh Muslim dalam kitab Al-Adhahi, bab :
waktu Udhhiyah, no. (2). (1960)
3. Hadits riwayat Muslim dalam kitab
Shalat, bab : Kewajiban membaca Al-Fatihah di setiap raka’at no. (38) (395)
4. Hadits riwayat Muslim dalam kitab
Shalat, bab : Argumentasi orang-orang yang berpendapat bacaan basmalah tidak
dikeraskan, no. (52) (399).
0 Comments:
Posting Komentar